Pages

Senin, 12 Desember 2011

Terlambat


Teriknya matahari siang ini tidak membuat Dito menjauhi si kulit bundar itu. Menurutnya si kulit bundar memang belahan jiwanya selain seseorang yang mencuri hatinya. Dilihatnya lapangan charet -sebutan Dito untuk lapangan futsal di sekolahnya yang terdapat pohon karet  besar di sisinya- dari tempatnya berpijak dipenuhi oleh teman-teman satu eksulnya yang asyik menggiring benda itu. Butiran lembut yang memenuhi tubuhnya tidak membuatnya lelah, justru ia sangat menikmati semua ini. Seorang laki-laki jangkung tiba-tiba menghampirinya dari lapangan yang terlihat terengah-engah dan Dito melemparkan sebotol air mineral ke arah laki-laki itu.

“Buset deh, capek banget gue” laki-laki itu menangkap air mineral yang Dito lempar dengan satu tangan.
Dito mengusap keningnya dengan punggung tangannya  “Sama Bim gue juga, tapi asik tahu. Kapan lagi coba? dua minggu lagi kita UAS”.  

Bimo bertolak pinggang sambil berdecak “Yaelah, ini minuman apaan sih? gue maunya minuman yang manis terus bikin badan gue seger alias yang dingin!”.

“Eh botak, minuman soda tuh enggak baik buat kesehatan. Apalagi yang dingin, air mineral udah paling oke. Kita kan baru aja olahraga, nyokap gue juga bilang gitu” Dito menasehati Bimo sambil meminum air mineralnya sendiri.

Bimo menjulurkan lidahnya pada Dito “Dasar anak mami! Dito anak mami, Dito anak mami. Eh lo semua yang lagi main, lo pada tahu ga sih Dito itu anak mami? lihat aja tuh tasnya mau sekolah aja dibekelin makanan sama air mineral”.

Otomatis seluruh teman-teman mereka tertawa terbahak-bahak bersama. Atau lebih tepatnya menertawai Dito.

“Sialan lo, eh jangan percaya deh sama omongan si botak” Dito membalas Bimo dengan menjitak kepalanya yang mulus dan licin itu.

“Apaan sih lo botak-botak. Gue ga botak! gue cuma cepak. Dasar anak mamih” Bimo tak mau kalah kali ini. Debat kusir diantara merekapun terjadi. Hingga tenggorokan mereka terasa kering gara-gara perdebatan ini. Akhirnya mereka menyudahinya.

Beberapa saat kemudian suasana tampak hening dan mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Dito menangkap raut yang berbeda pada wajah Bimo. Sepertinya wajah Bimo berseri-seri kala itu. Selain itu Bimo sempat menyunggingkan senyuman di bibirnya yang tipis dan mungil itu. Tentu saja hal ini membuat Dito penasaran.

“Lo lupa minum obat ya?” Dito memandang wajah sahabat yang dikenalnya semenjak sd itu dengan raut kasihan.

“Enak aja. Gue waras tahu! Lagian ganggu aja sih. Orang lagi ngekhayal juga” Bimo mendengus kesal karena kesibukannya tadi diganggu.

“Hehe, ga biasanya sih. Emang ngekhayalin apaan sih? tumben amat. Jangan-jangan lo kesambet ya?” cengengesan Dito menimpali perkataan Bimo.

“Ngawur. Mau tahu aja sih lo” acuh tak acuh Bimo menanggapi perkataan Dito.

Hening pun terjadi lagi. Lalu tiba-tiba Bimo memulai “Dit, kalau ada seseorang yang selalu ada di samping kita kayanya hidup tuh bahagia yah. Seseorang yang kita cintai yang menemani kita saat suka dan duka”

Mulut Dito menganga lalu menatap sahabatnya itu “Kok, lo jadi melankolis gini? Wah bahaya kayanya gue mesti nyariin lo dokter jiwa, eh salah maksud gue dokter cinta. Lo lagi jatuh cinta ya?”

Sambil tertawa kecil Bimo memandang lapangan charet walaupun di dalam hatinya terdapat keresahan mendalam “Mungkin, dan gue ngerasa cape kaya gini terus. Gue capek mendem perasaan ini terus Dit. Gue mau bahagia.”

“Ya gampang, tinggal nyatain aja. Apa susahnya coba? siapa sih cewek yang lo taksir itu? jangan-jangan anaknya Pak Dedi ya yang baru jadi siswi sekolah ini?” selidik Dito penuh keingintahuan dengan alis yang terangkat ke atas membuat Bimo geli melihatnya.

“Ampun deh kalau sampai anaknya Pak Dedi gamau gue. Bisa-bisa gue disetrap di suruh berdiri di depan kelas buat baca puisi” Bimo mengetuk tangannya ke tanah lalu ke kepalanya.

“Itu sih bukan karena nyuruh lo buat baca puisi. Tapi karena lo belum bikin puisi” sindir Dito.

Pipi Bimo merona “Tahu aja lo. Ah Dit lo bener, gue harus bertindak sekarang. Gue enggak mau nunda-nunda lagi”. Lalu Bimo berdiri menarik tas ranselnya dengan terburu-buru dan meninggalkan Dito.

“Lo mau kemana? siapa sih cewek yang lo taksir?” Dito memicingkan matanya yang terkena sinar matahari.

“Gue mau mencari dia. Mencari cinta gue. Doain ya, entar lo juga tahu sendiri” Bimo tersenyum penuh arti dan jantungnya kini berdetak seribu kali lebih cepat dari biasanya.

Berharap dewi cinta berpihak padanya kali ini. Berharap panah cupid tepat pada sasarannya. Memanahkan panah-panah asmaranya.

Tinggalah Dito menatap langit yang perlahan tetapi pasti berubah menjadi jingga sendirian dalam sepi. Begitu indah dan tentram. Memperlihatkan rupanya yang merona. Seperti hatinya yang merona menunggu hari esok yang selalu dinantinya.

***

Sudah berapa kali Dito selalu merasakan jantungnya berdetak tidak karuan seperti ini, ia tidak pernah menghitungnya. Dirinya begitu gelisah setiap sosok itu ada di hadapannya. Bahkan jika melihat sosok itu hanya dari sudut matapun Dito merasa gelisah tak menentu. Sosok yang menghiasi bunga tidurnya. Sosok yang anggun bagai puteri. Anggun namun begitu sederhana, kecerdasannya terpancar dari auranya ditambah lagi kacamata yang ia kenakan. Semakin membuat Dito tergila-gila dibuatnya. Dito melihat sosok itu berjalan kearah meja yang ia duduki. Nafasnya memburu dan ia pura-pura mengalihkan pandangannya agar sosok itu tidak curiga.

“Dito...” suara itu membuat Dito salah tingkah. Mendengar suaranya yang lembut saja bisa hatinya berdebar-debar.

Dengan memejamkan matanya berharap ritme jantungnya lebih stabil Dito mengangkat wajahnya lalu tersenyum “Oh, hai Priska..”

Sambil membenarkan letak kacamata yang ia kenakan sosok itu menyelusuri meja Dito yang penuh buku  –buku contekan pr tepatnya- “Kamu enggak bikin pr lagi ya?”

Merasa melakukan hal yang salah Dito berusaha memberikan penjelasan sambil tersenyum malu “Kemaren aku ketiduran, badan capek soalnya habis latihan futsal”

Priska hendak mengatakan sesuatu kepada Dito tetapi tertahan karena bu Rika tiba-tiba datang dan memasuki kelas. Bagai mimpi buruk bagi para siswa yang lain, kehadiran bu Rika selalu menjadi suatu hal yang menakutkan. Siswa lain tunggang langgang membenahi meja mereka agar tidak ketahuan mengerjakan pekerjaan rumah. Mereka seperti anak tk yang langsung duduk manis siap bernyanyi dan belajar bersama.

“Gue tebak, pasti bu Rika lupa bawa setrika deh” Robi teman sebangku Dito berkomentar.

“Emang kenapa? Ga ada kerjaan banget bawa setrikaan ke kelas” Dito mencuri kesempatan untuk menyalin pekerjaan Robi.

“Soalnya tuh lihat aja mukanya kusut gitu” suara tertawa Robi terdengar keras. Lalu ia menundukan kepalanya sebagai permohonan maaf kepada teman-temannya yang sepertinya tertanggu oleh suaranya termasuk bu Rika. Dito jadi tertawa melihat ulah teman sebangkunya itu.

Kehadiran bu Rika kali ini adalah untuk membagikan hasil ulangan fisika. Setiap siswa merasa jantungnya mau copot jika bu Rika memanggil nama mereka, seperti Dito dan Robi. Tidak untuk Priska tentunnya.

“Priska..” bu Rika memanggilnya dengan kalem.

Senyuman dari bu Rika yang selalu di dapat Priska, tentu saja karena ia selalu mendapatkan nilai sempurna dalam setiap ulangan. Kontras dengan Dito yang selalu mendapatkan nilai di bawah standar yang menyebabkan ia harus remedial terus menerus. Sampai-sampai bu Rika menjulukinya atau bagi kelompok yang sering mendapat nilai di bawah standar dengan sebutan geng“remed ranger”. Sakit memang, tapi itulah kenyataannya. Hal inilah yang terkadang membuat Dito merasa bukan apa-apa untuk Priska. Dia merasa tidak berguna.

“Udah buruan tembak, entar kesamber orang baru aja nangis darah” Robi menyikut lengan Dito karena memergokinya mencuri-curi pandang ke arah Priska.

“Apaan sih Rob, gue gatau. Gue ga yakin. Gue ngerasa nothing” wajah Dito mendadak memelas membuat Robi kasihan dan ingin memberinya ember untuk menampung air mata Dito kalau tiba-tiba membanjir.

“Bray, lo jangan pesimis gitu kali. Toh belum dicoba kan? kok lo udah nyerah aja, itu namanya kalah sebelum berperang alias cemen” Robi meletakkan tangannya  di atas pundak Dito.

Begitu miris, Dito bisa menasehati sahabatnya Bimo dengan mudahnya. Tapi ia sendiri begitu sulit melakukannya. Ia tidak ingin menjadi laki-laki yang pengecut. Secercah harapan dan semangat tiba-tiba mersasuki dirinya. “Lo bener Rob, gue akan berusaha untuk ngungkapin ini ke Priska, gue harus”

“Itu baru namanya cowok sejati” dua ibu jari terangkat dari tangan Robi untuk Dito.

***

Tekat Dito telah bulat, ia tidak akan membuang waktu dengan percuma. Dito menyelesuri sekolah ini berharap bertemu dengan bidadari yang telah mencuri hatinya, Priska. Tapi ia tidak menemukan Priska setelah pertemuan terakhirnya di kelas tadi. Priska sedang mengikuti ekskul KIR sepertinya. Entah kenapa terbesit keraguan dalam hati Dito sekarang, ia merasa apakah mungkin semua rencananya akan berjalan mulus? Dito mencoba meyakini hatinya.

Dito tidak tahu lagi harus mencari Priska dimana. Hatinya bimbang, dan ia memutuskan untuk pulang saja. Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat, pikirnya. Saat Dito memasuki tempat parkir ia melihat sosok yang menawan itu. Priska ada di sana tapi tunggu dulu, apa yang dilakukan Priska di tempat parkir? Tanpa pikir panjang Dito menghampiri gadis pujaannya itu. Dito hendak mengutarakan isi hatinya yang sudah lama terpendam.

“Priska..” suara Dito bergetar menahan kegugupannya.

“Hai Dit, ada apa?” Priska membalas sapaan Dito dengan senyum manisnya hingga  membuat Dito kehilangan kata-kata yang telah ia rangkai sedemikian rupa.

“Pris, aku-..”

“Priska, sory ya lama, tadi aku beli minum dulu di kantin buat kamu”  Priska pun tersenyum kepada sosok yang memanggilnya dan suara ini sepertinya amat familiar bagi Dito.

“Bimo? Lo? Priska” entah kenapa Dito merasa hatinya sakit, ia memiliki firasat yang tidak baik.

“Dito! Ya ampun gue hampir lupa cerita ini sama lo. Ini dia cewek yang gue maksud waktu  itu” Bimo menyapa Dito dengan mukanya yang berseri-seri.

Lalu Bimo meraih tangan Priska dalam genggamannya, begitu mesranya. Hingga meninggalkan luka yang begitu dalam di hati Dito ketika melihat pemandangan yang tidak indah itu. Ia benar-benar tidak sanggup. Tapi Dito tidak bisa berbuat banyak karena semuanya telah terjadi. Sudah terlambat baginya untuk memulai. Terlambat karena kecerobohannya sendiri. Kini semuanya telah berakhir menjadi sebuah cerita lalu. Harapannya telah pupus, hatinya hancur berkeping-keping.

Kini langit seakan merasakan kepedihan hati Dito. Langit meluapkan tetesan air matanya yang membasahi seluruh jiwa dan raganya tak terperi. Bukankah kita harus bahagia jika orang yang kita cintai bahagia? Dito meyakini satu hal dalam dirinya bahwa cinta itu tidak harus memiliki.

“Love is sacrifice” batinnya seiring dengan langkahnya yang tertatih.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar