Pages

Senin, 07 November 2016

Momen (Part 1)

".... Allahu Akbar Allahu Akbar.... Laaillahaillallah......"

  Suara adzan subuh terdengar begitu jelas di telingaku sampai-sampai membuatku terbangun dari tidur. Penasaran saat ini pukul berapa, kulihat ponsel yang ada di samping tempat tidurku.

"... pukul 04.00...." gumamku setengah sadar.

  Bergegas, aku mencari mukena yang semalam aku simpan sehabis solat isya di lipatan sajadah. Ku pakai mukena itu dan langsung menuju masjid di dekat rumahku. Ketika hendak keluar rumah tiba-tiba perutku terasa sakit seperti melilit, rasanya seperti sudah tidak bisa ditahan lagi. Namun mengingat waktu subuh yang terbatas dan aku tidak ingin melewatkan solat subuh berjamaah di masjid maka aku nekat saja langsung ke masjid.  

  Masjid yang biasa aku datangi dekat dengan rumahku. Tidak membutuhkan waktu yang lama menuju kesana, hanya beberapa langkah langsung sampai. Ketika aku menyelusuri jalan, udara terasa dingin dan jalanan begitu sepi.
                                                       
  Kulangkahkan kaki cukup cepat karena aku ingin langsung menuju WC di masjid itu. Sesampainya aku di depan masjid ku lihat pemandangan yang menarik, ya sebenernya ini bukan pemandangan dalam konteks alam, tapi aku menyebutnya sebagai keindahan yang hakiki.

"... ya Allah..... ada dia.... hmmm" ucapku sembari mempercepat langkah

  Ku lihat dia sedang rukuk yang kurasa dia sedang mengerjakan salat sunah 2 rakaat sebelum salat subuh.  Sejujurnya keberadaannya saat itu justru membuat konsentrasiku buyar. Tapi ternyata sakit perut yang aku rasakan mengalahkan pesona yang dia berikan.

"..... hmmm yasudahlah, toh bisa apa sih aku ini....." bergegas kulangkahkan kaki menuju WC masjid.

  Beberapa menit kemudian aku keluar dari WC tersebut "akhirnya... lega juga..... hehehehe"                

  Tiba-tiba terdengar iqamah yang membuatku sadar aku harus cepat mengambil air wudhu. Terasa begitu terburu-buru aku memakai mukena kembali dengan gerakan yang begitu cepat.

  Kakiku langsung bergerak begitu cepat. Ketika aku hendak menaiki tangga, sungguh aku tidak percaya dengan apa yang aku alami. Rasanya terjadi begitu cepat seperti hanya satu detik saja.

  Apa yang aku alami. Rasanya terjadi begitu cepat seperti hanya satu detik saja.

  Aku berpapasan dengannya. Pertama kali.
                                       
  Tidak kuasa ku melihat wajahnya apalagi matanya. Sesungguhnya mata yang dia miliki begitu menarik, sayu menentramkan. Tapi apalah daya, yang bisa kulakukan hanya melihat dada yang terbungkus oleh baju koko berwarna merah maroon yang dia kenakan. Hanya bagian dadanya, karena tinggi badanku hanya sampai dadanya saja.

  Posisi kami saat itu begitu canggung. Mungkin dia ingin berwudhu lagi setelah melakukan salat sunah 2 rakaat sebelum salat subuh. Saat itu dia hendak ingin mengambil air wudhu, sehingga dia harus turun tangga, sedangkan aku yang sudah berwudhu harus naik  naik tangga.

  Tangganya pun hanya beberapa anak tangga saja. Dimana setelah melewati anak tangga maka tempat salat akhwat pun terlihat, sedangkan tempat salat ikhwan berada disamping kanan tempat salat akhwat dimana dibatasi dinding. Sama halnya dengan posisi tempat wudhu antara ikhwan dan akhwat yang hanya dibatasi dinding saja.

  Sadar akan kehadirannya, aku hanya bisa memalingkan wajahku ke arah kiri. Aku tidak tahu apakah dia melihat ke arahku atau tidak tapi sepertinya dia juga memalingkan muka ke arah kiri.

  Tapi entahlah, mungkin dia tidak sengaja melihatku hanya satu detik lalu memalingkan muka, atau dia sama sekali tidak melihat ke arahku. Siapa yang akan peduli tentang hal ini? Tidak, aku sangat peduli.

  Aku ingin merekam setiap detik memori kebersamaan kami. Namun aku tidak bisa terus berada dalam memori yang semu saja. Harus aku akui, aliran darahku seketika menjadi hangat. Ada rasa malu juga berharap yang menyelinap tanpa permisi.

  Tidak ingin terlalu terbawa suasana aku langsung berjalan cepat menuju tempat salat akhwat kemudian aku salat. Bayangan wajahnya tiba-tiba menghampiri namun langsung aku pejamkan mata ini.

"...astaghfirullahaladzim.... ya Allah, jagalah mata dan hati ini..." ucapku dalam keheningan perasaan.

Sabtu, 15 Oktober 2016

Bertamasya

Nyiur melambai di tepi pantai
Diselingi ombak yang berkejar kejaran
Pasir menghimpit kaki yang terjuntai
Menyelipkan senyum simpul penuh kesan

Aku terpana menatap keindahan
Bersama kawan ku telah menjelajahi
Kicauan burung semakin menguatkan
Tak sampai hati untuk mengakhiri

Matahari

Cahaya yang muncul dari ufuk timur
Menghidupkan semangat pagi tanpa kendur
Unsur kehidupan yang tidak dapat luntur
Membuat hidup menjadi teratur

Makhluk hidup bergantung pada sinarnya
Memberikan sejuta manfaat kepada sesama
Anugerah terindah dari sang pencipta
Sudah patut kita 'tuk mensyukurinya

Selasa, 24 Mei 2016

Jompang Jamping Rasa

Matanya mulai dipejamkan. Pikirannya terpaku pada khayalan semu. Dia tidak peduli pada sekelilingnya, yang terpenting hasratnya terpenuhi. Ia penuhi relung-relung hatinya dengan rasa senang, senang bisa menyapa, bercengkrama, merangkul, mendekap tanpa tersisa ruang sedikitpun. 


Perlahan, matanya terbuka, dia kembali sadar akan kenyataan yang sesungguhnya. Bukan kefanaan perasaan yang dibuatnya sendiri, dan ia tersadar semua yang dirasakannya itu hanya kamuflase saja. Ya, rasa senang yang ia ciptakan dengan impiannya. Impiannya tidak tahu bisa disebut impian. Bayangkan saja, impiannya itu ia ciptakan sendiri, bisa dikatakan tidak rasional. Impian dengan menyatukan imajinasi, hei itu bukankah hal yang sah saja dilakukan?


Kembali ia membuka laptop yang selalu menemaninya dalam petualangan imajinasinya. Perlahan iya membuka page sebuah situs yang bisa membuka cakrawala pemikirannya, meningkatkan tingkat imajinasinya tapi tidak sering juga justru membuatnya down atau sejenisnya. Suatu ketika ada hal yang membuat hatinya membucah, perasaannya terombang-ambing antara rasa senang, takut atau bisa dikatakan ‘jompang-jamping rasa’. 


Senang karena semua diluar ekspektasinya, takut akan kesenangan yang ia peroleh hanyalah sesuatu yang biasa saja bagi si 'dia'nya. Tak apalah, sebuah mimpi bisa didekap oleh pemikiran yang tidak logis. Terkadang memang gila, tapi tak apalah, pemikiran yang gila untuk jiwa yang gila pula, gila akan mimpi. 


Dialah impiannya, impian sang gadis pemimpi yang tak lelah-lelahnya bermimpi. Seseorang di seberang sana, mengukir kertas putihnya dengan susunan impian-impiannya, ditemani cahaya yang menyinari matanya hingga membuat matanya perih. Rancangan impiannya dengan kesungguhan yang ia torehkan pada kertas putih itu, impiannya terletak disana. Ia berniat untuk mengubah dunia.


Bagaimana sang gadis tak terpesona olehnya, oh andai seseorang itu tahu sang gadis begitu memujanya, jompang-jamping perasaannya sendiri tak terelakan. 


Seseorang itu hanya diam terpaku dengan kertas putihnya, kembali mengukir dengan tintanya, mengukir dunia, itulah yang dia lakukan. Jompang-jamping perasaan semakin merangkul gadis itu, apa yang harus ia perbuat. 


Nyatanya semua itu hanya khayalannya saja, yang ada dia hanya bisa melihat impiannya, seseorang yang sedang ingin mengubah dunia dengan tangannya, jiwa kepemimpinannya juga pemikiran kritisnya hanya dari layar laptop saja. Oh Tuhan, miris sekali bukan, bahkan gadis itu sama sekali tidak mengenali sosok impiannya itu, impian masa depannya itu. 


Bagaimana ia bisa mengatakan seseorang itu impian masa depannya jika dia sendiri tidak tahu dengan persis bagaimana citra dari impiannya itu? Oh Tuhan yang Maha Membolak-balikan hati seseorang, sudi kiranya Engkau membalikan hatinya pada gadis itu, gadis itu sedang krisis perasaan ya Tuhan. 


Dia tidak berputus asa, dia nikmati semua ritme yang ada, momen demi momen yang membuatnya bahagia atau hanya ia sendiri yang merasakannya, dia tidak peduli. Yang terpenting jompang-jamping perasaanya membuahkan hasil di akhir nanti, suatu saat nanti, entah kapan. 


Impiannya tidak pernah pudar, tenggelam, tertelan bumi. Impian itu selalu ada, bersemayam di pikiranya, tekadnya, hanya untuk satu tujuan. Dengan siapapun itu, tak harus dengan impiannya sekarang, impian kan impian. kenyatan-kenyataan, dua sisi yang berbeda. 


Kembali matanya terpejam, bunga tidurnya kini memenuhi relungnya, alam mimpinya pun dikuasai oleh imajinasinya lagi. Dengan seseorang yang merancang impiannya untuk mengubah dunia, duh membuat sang gadis masih dalam jompang-jamping rasa, dan hal ini belum berakhir, masih ada hari esok yang lebih dipenuhi imajinasi. 

Selasa, 17 Mei 2016

Dari Mata Turun ke Hati

Wisuda  adalah salah satu dari sekian momen yang ditunggu setiap orang, khususnya mahasiswa tingkat akhir. Setelah sekian tahun berjuang juga berkorban demi mengejar gelar diploma, sarjana, bahkan magister akhirnya momen itu pun tiba.

Seharusnya sebagai wisudawan, Rena patut berbahagia karena apa yang ia perjuangkan membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Ia sempat menjadi salah satu calon MAWAPRES alias mahasiswa berprestasi untuk diajukan dari tingkat  fakultas menuju universitas.

Ternyata ini dikarenakan ia adalah pemilik IPK tertinggi di jurusannya, sejujurnya ia tidak pernah menyangka apalagi berharap untuk diberi kesempatan ini ditambah lagi ia harus berjibaku dengan tugas akhir yang sangat menyita waktu dan pikirannya.

"hadeuh yakali deh, disuruh buat karya tulis, judul TA aja belum di acc sama dosen pembimbing" gerutunya sambil mengibaskan kertas yang ia pegang.

Kala itu ia baru saja diwawancarai oleh panitia MAWAPRES, diantaranya sekretaris program dan dosen wali nya yang kadang menyebalkan dimana ia menyuruh setiap calon MAWAPRES untuk membuat karya ilmiah yang inspiratif.

Bersyukur pihak fakultas mengerti keadaannya dengan cara tidak meloloskannya demi memfokuskan Rena untuk tugas  akhir.

"Ah untung ngga dilanjutin, bisa bisa amsyong deh mikirin 2 karya tulis sekaligus. Penting TA bingit kalik.." Rena menghela nafas.

Setelah melalui sesuatu yang penuh dengan warna dan rasa, sekitar bulan Agustus 2015 ia wisuda juga.

"..... Padjadjaran lambang suci, Almamater yang tercinta..... tempat ilmu dan cita, Almamater ku tercinta..."

Alunan nada mengiringi himne universitas tempat ia bernaung, sungguh membuat air mata setiap wisudawan, khususnya ia sendiri tidak terbendung.

Walaupun bisa ditahan, namun kesakralan himne tersebut membuat ia teringat masa masa dimana harus memperjuangkan pendidikannya dimulai saat ia duduk di GOR Jati untuk mengikuti Prabu, berjibaku dengan tugas akhir, hingga ia mengenakan toga di Graha Sanusi Hardjadinata.

Satu hal lagi yang teringat adalah wajah ayah dan ibunya.

"Ibu, Ayah. Alhamdulillah aku lulus, aku persembahkan gelarku ini khusus untuk Ibu dan ayah. Terimakasih atas segala yang diberi aku bisa berdiri disini..." ucap Rena dalam hati sembari mengusap kelopak matanya.

Prosesi wisuda akhirnya selesai dan tiba saatnya bertemu dengan orang yang disayang dan spesial. Namun, ada satu hentakan dalam hati Rena

"Ya Allah, mereka tidak bisa datang, dan memang tidak mau datang"

Rasa kesal, kecewa, sedih tidak bisa ia acuhkan, namun sangat           disayangkan jika salah momen terbaik dalam hidup harus dilalui dengan kesedihan. Setidaknya ada banyak orang yang masih peduli dan menyempatkan hadir, walaupun sebenernya yang tidak datang bukan berarti tidak peduli.

"Aku tetap menyayangi mereka.." ikhlas Rena dalam sunyi diantara keramaian.

Hiruk pihuk Graha Sanusi Hardjadinata membuat Ibu dan Ayah Rena mendesak Rena untuk segera menuju ke salah satu studio foto. Setibanya Rena di studio foto yang berada di Jalan Banda, ia sudah siap mengantri untuk foto wisuda.

Seminggu yang lalu ia dan Ibunya sudah memesan paket foto di studio ini supaya mendapatkan jam yang tidak terlalu sore. Namun ternyata waktu yang diinginkan sekitar jam 2 siang penuh, sehingga mau tidak mau ia mendapatkan jam awal yaitu jam 1 siang.

"silahkan mbak...." ujar salah satu fotografer yang menyuruh Rena dan orang tuanya masuk ke dalam studio.

-----------------------------*-------------------------------

Pemotretan berjalan lancar dan fotografer memberi tahu Rena tentang mekanisme pengambilan foto. Setibanya Rena memilah foto yang terbaik, Ibu nya meminta nya untuk menemani ke WC.

Ibu Rena terlihat bingung ketika benda yang ia cari dalam tasnya tidak ketemu ".... loh,  Rena dompet  kamu mana? kok ngga ada di tas? kamu taroh mana sih"

"ha? masa sih bu? tadi aku taroh disitu kok abis ngasih struk ke mba nya" muka Rena mulai pucat.

Akhirnya Rena kembali ke studio tempat ia melakukan sesi foto. Nihil sang fotografer tidak tahu menahu mengenai dompet yang tertinggal di studio.

"mas, mba masa sih ngga ada? tadi perasaan saya naroh tas saya disini" Rena berusaha untuk meyakinkan hatinya bahwa dompetnya bisa ia temukan tapi kenyataannnya dompet itu hilang entah kemana.

Rena berjalan cepat turun dari lantai 2 ke lantai dasar menuju costumer service di sebelah kasir siapa tahu ia mendapatkan pencerahan.

"Ya Allah, kok bisa ya dompetku hilang? bukan gimana tapi disitu banyak kartu penting, apalagi ada KTM yang tidak mungkin aku buat lagi kan udah lulus huhu" kesedihan Rena mulai terasa.

Akhirnya Rena menghampiri  bagian CS namun tidak bisa diharapkan. Dengan langkah terguntai tanpa memakali heels nya ia berjalan menemui Ibu nya yang menunggu di luar. Rena merasa sangat konyol kala itu, ia lupa memakai toga dan hanya memakai baret yang ada di kepalanya, juga tidak memakai alas kaki apapun. Rena malah menjinjingnya, ia sangat panik.

"Ya Allah cobaan apalagi ini, hari ini harusnya aku bahagia.." gumam Rena
Saat Rena keluar melalu pintu yang berada di kanan, langkahnya terhenti.

Ia tidak tahu kenapa hal tersebut bisa terjadi. Justru matanya tertuju pada satu titik dimana ia terpaku untuk beberapa detik. Ia merasa nafasnya terhenti. Ada kekuatan dalam mata yang ia lihat. Tidak ada rasa, hambar namun tetap mata itu mempunyai daya tarik bagi Rena.
     
"ha? kok kayanya aku tahu ya orang ini? haha ih iya dia kan yang aku like"-in album fotonya. kok bisa ketemu disini ya? dia ama siapa tu? " Rena menyeringai dalam hatinya.

Sekian detik mata Rena dan mata yang ia lihat saling terpaku. Entah apa yang terjadi sampai bisa seperti ini. Rena rasa, mata yang ia lihat itu juga menunjukkan ekspresi yang datar, hambar namun sedikit penasaran, tepatnya ekspresi bingung.

Ya, ini yang namanya momen yang canggung. Rena cepat mengalihkan pandangannya, ia takut mata yang ia lihat semakin menarik untuk ia telusuri. Hingga sang pemilik mata itu masuk ke dalam lantai dasar tempat foto bersama teman perempuannya.

------------------------------*------------------------------
                                             
Rena menghampiri ibunya dan menjelaskan bahwa dompetnya tidak bisa diselamatkan. Untungnya KTP Rena tidak ada dalam dompet yang hilang itu. Setidaknya ia sedikit bernafas lega meskipun ia tidak bisa merelakan KTM sebagai identitasnya selama menjadi mahasiswa di Jatinangor. Ibu dan Ayah Rena tidak terlalu mempermasalahkan hilangnya dompet anaknya, mereka menasehati Rena supaya lebih berhati hati dalam menjaga sesuatu.          

Alih alih mendengarkan nasihat orang tuanya, Rena justru terpaku pada sosok yang akan menaiki sepeda motornya, rupanya pemilik mata yang indah itu sudah keluar dari tempat foto itu.

".. dia lagi? kok bisa lihat dia lagi? ya ampun... ngga nyangka bisa lihat dia. hari ini aku wisuda, dompetku hilang tapi aku masih saja tersenyum. apa karena mata itu ya?.. ah, apa sih? plis deh yakali emangnya ftv?... ya Allah aku ini kenapa?..." gumam Rena dalam lamunannya.

Semburat kecil penuh makna menyelimuti senyum simpul Rena, tanpa sadar ia rapalkan doa doa manis sepanjang perjalanan.

"Ya Allah, apakah aku bisa melihat mata itu lagi? apakah aku bisa meyentuh mata hatinya? atau sekedar hempasan rasa yang yang sekejap saja? ya Allah aku jalani hariku sesuai rencana Mu. Jikalau Kau kehendaki, izinkan aku untuk melihat mata dan mendekap hatinya. Amin' 😊

                    Jonas Banda, 5 Agustus 2015