Pages

Kamis, 27 Februari 2014

Apresiasi “Pengantar Wawancara dalam Konteks Jurnalisme” Karya Sahat Sahala Tua Saragih


I.            Rangkuman
Salah satu hak asasi manusia yang bersifat universal yaitu naluri atau rasa ingin mengetahui dan memberitahukan (right to know and right to inform). Warga masyarakat menyerahkan sebuah mandat kepada wartawan untuk merealisasikan atau mengaktualisasikan hak tahu dan hak memberitahukannya. Bertanya atau berdialog dalam konteks jurnalisme disebut wawancara, melalui wawancara wartawan dapat mengetahui dan memperoleh berbagai fakta atau realitas, baik realitas sosiologis maupun realitas psikologis. Berwawancara merupakan kegiatan pokok wartawan.

Pengertian Fakta
Beberapa ahli jurnalistik mengemukakan pendapatnya, misalnya Earl English, dan Clarence  dalam buku Scholastic Journalism membagi fakta dalam dua pengertian. Pertama, fakta adalah sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, artinya fakta berupa kejadian nyata yang sudah atau sedang terjadi. Kedua, fakta adalah sesuatu yang sungguh-sungguh benar, kebenaran. Artinya, hal-hal yang dilaporkan wartawan dalam media massa memang benar, sunguh-sungguh telah dinyatakan oleh sumber  berita atau narasumber meskipun pernyataan itu tidak/belum terjadi atau tidak akan terjadi sama sekali.

Lain lagi dengan pernyataan dari pakar jurnalistik ternama, Stewart Robertson dan George Mott dalam buku mereka, New Survey of Journalism. Definisi dari pernyataan mereka kurang lebih menggambarkan penggabungan artinya bukan percampuradukan fakta dalam arti pertama (realitas sosiologis) dengan fakta dalam arti kedua (realitas psikologis) boleh saja dilakukan oleh wartawan. Hal yang tidak boleh adalah penggabungan dan percampuradukan antara fakta (dalam arti  pertama dan kedua) dengan pendapat, komentar, penilaian, imajinasi, dan simpulan wartawan sendiri.

Nilai Berita
Berikut beberapa aspek yang menjadi acuan menentukan nilai berita suatu fakta atau realitas untuk seorang wartawan, yakni :
1.    Penting (significance), yaitu kejadian/fakta yang sangat penting atau bermakna bagi kehidupan khalayak.

2.    Kedekatan (proximity), yaitu kejadian/fakta yang dilaporkan wartawan dekat dengan kehidupan khalayak.

3.    Aktualitas (timeliness), yaitu kejadian/fakta yang dilaporkan wartawan masih sangat hangat (baru saja terjadi).

4.    Ukuran (magnitude), yaitu kejadian atau fakta yang menyangkut ukuran, takaran, jarak, waktu, dan jumlah (sangat besar atau sebaliknya) yang sangat berarti bagi kehidupan khalayak.

5.    Ternama atau tenar (prominence), yaitu kejadian/fakta yang menyangkut diri orang-orang atau hal-hal yang sangat tenar di kalangan khalayak. Ketenaran tentu menyangkut tempat atau benda-benda.

6.    Konflik, yaitu fakta tentang peperangan, perkelahian, permusuhan, perselisihan, persaingan, dan yang semacamnya.

7.    Seksualitas, yaitu fakta soal laki-laki dan perempuan yang menyangkut macam-macam hubungan intim seperti lesbian, homo, gender dan aspek seks ini memiliki nilai berita tinggi bila melibatkan orang ternama atau tokoh masyarakat.

8.    Emosi atau naluri (human interest) yaitu fakta/kejadian yang bersifat insani, yang menyentuh aspek perasaan (emosi) dan naluri khalayak.

9.    Luar biasa (tidak sepert yang biasa; tidak sama dengan yang lain; istimewa) atau ganjil (lain daripada yang lain) atau janggal (tidak seperti biasanya) atau aneh (tidak biasa kita lihat, dengar, dan sebagainya).

10. Akibat atau konsekuensi yaitu kejadian/fakta yang mungkin atau pasti muncul akibat suatu kejadian/fakta tertentu.

11. Kemajuan (progress) atau Inovasi, yaitu kejadian/fakta yang menyangkut kemajuan yang dicapai suatu masyarakat dan penemuan-penemuan baru para ilmuwan dan peneliti.

12. Mukjizat (kejadian atau peristiwa ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia) atau ajaib (jarang ada, mengherankan yang tidak dapat diterangkan dengan akal).

13. Tragedi (peristiwa yang menyedihkan, menderita kesengsaraan lahir dan batin yang luar biasa atau sampai meninggal) atau bencana (yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan).

Pencarian Fakta

          Diperlukan beberapa teknik atau cara wartawan untuk “berburu” fakta atau meliput peristiwa, ini bergantung pada jenis peristiwa/fakta yang diburu. Biasanya wartawan “berburu” fakta dengan terjun langsung ke dalam peristiwa atau gejala sosial secara pasif. Dimana wartawan tidak melibatkan diri ke dalam objek “perburuan”. Dalam liputan tertentu wartawan harus mengamati langsung peristiwa atau gejala sosial secara aktif, dikhususkan dalam penulisan berita investigasi (penyelisikan). Di sini wartawan biasanya berperan sebagai pengamat aktif atau partisipatif, artinya ia ikut terjun langsung dalam peristiwa atau gejala sosial yang menjadi objek “perburuan”-nya. Kekayaan objek yang diliput sangat ditentukan oleh kekayaan subjek (peliput).\

Jenis-Jenis Pertanyaan
Dalam wawancara kita mengenal beberapa jenis pertanyaan, antara lain sebagai berikut:
a.    Pertanyaan informatif adalah pertanyaan wartawan kepada sumber berita untuk meminta informasi atau keterangan tentang suatu fakta,

b.    Pertanyaan konfirmatif adalah pertanyaan wartawan yang bertujuan meminta konfirmasi (pembenaran; penegasan; pengesahan) dari sumber berita,

c.    Pertanyaan verifikatif adalah pertanyaan wartawan yang bertujuan meminta verifikasi (pemeriksaan atau pengecekan tentang kebenaran laporan) dari sumber berita,

d.    Pertanyaan sugesif adalah pertanyaan wartawan yang bertujuan untuk menyugesti sumber berita atau narasumber,

e.    Pertanyaan provokatif adalah pertanyaan wartawan yang bertujuan menantang atau memancing sumber berita atau narasumber untuk menyatakan sesuatu yang diharapkan sang wartawan.

Dalam dunia jurnalisme ada ungakapan yang berbunyi, “Kualitas  jawaban terwawancara sangat ditentukan oleh kualitas pertanyaan pewawancara”. Ini berarti, jawaban yang sangat bagus dan terwawancara hanya mungkin (dapat) muncul dari petanyaan yang sangat bagus yang dilontarkan pewawancara. Pertanyaan yang sangat bagus muncul hanya dari pewawancara yang bagus.

Ciri-ciri Pewawancara Profesional
          Ciri-ciri pewawancara yang bagus atau profesional antara lain sebagai berikut:

a.    Memiliki pengetahuan umum yang sangat luas,

b.    Memiliki naluri atau rasa ingin tahu yang tinggi,

c.    Mampu berbahasa dengan baik (sangat fasih) sesuai dengan bahas yang dipahami terwawancara,

d.    Tidak mewancarai terwawancara dengan “kepala kosong”,

e.    Menyadari betul statusnya sebagai pemegang mandat masyarakat (hak tahu dan memberitahukan),

f.     Bersikap kritis dan skeptis, ini berarti pewawancara tidak mudah percaya terhadap ucapan terwawancara,

g.    Mampu memosisikan diri (secara psikologis) sejajar (secara horizontal) dengan terwawancara,

h.    Tidak angkuh dan sok tahu,

i.      Harus berlaku sopan dan hormat terhadap terwawancara  baik melalui penampilan (gerak fisik dan pakaian) maupun kata-kata yang diucapkan,

j.     Tidak mengintrogasi pewawancara,

k.    Mampu berempati terhadap terwawncara,

l.      Mengetahui dan menaati Kode Etik Jurnalistik yang berlaku pada zamannya

          Penafsiran pasal 7  Kode Etik Jurnalistik berbunyi demikian:

1.    Hak tolak adalah hak wartawan untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya,

2.    Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber,

3.    Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya, dan

4.    Off the record  adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
II.          Apresiasi

Tulisan “Pengantar Wawancara dalam Konteks Jurnalisme”  karya Sahat Sahala Tua Saragih menyuguhkan informasi yang bermanfaat bagi orang-orang yang ingin mengenal dunia jurnalistik lebih dekat dan mendalam, seperti saya sendiri.  Di dalam tulisannya, Sahat Sahala Tua Saragih memberikan dasar-dasar bagi seorang yang awam akan dunia kewartawanan supaya mengetahui lebih jauh. Mulai dari perkenalan mengenai pengertian fakta hingga ciri-ciri wartawan yang profesional, saya menjadi mengerti betapa alur menjadi seorang wartawan yang baik tidaklah semudah membalikan kedua tangan
.
Gaya bahasa yang digunakan Sahat Sahala Tua Saragih pada tulisan ini cukup membuat pembaca harus lebih bisa memahami makna yang terkandung dalam bacaannya. Pemilihan kata yang cukup berat, bagi orang yang kurang tertarik membaca akan membuat sedikit pusing. Namun, dibalik pemilihan kata-kata yang berat mempunyai pengertian yang baik. Saya sendiri, ketika mebaca tulisan ini tetap menikmati setiap kata yang terbaca.

Perkenalan pertama, penulis memberikan sedikit ulasan mengenai hak tahu dan hak memberitahukan yang dijadikan sebagai mandat dari masyarakat untuk wartawan. Saya rasa, hal tersebut sudah memberikan gambaran untuk pembaca supaya mengetahui sebenarnya wartawan melakukan tugasnya sebagai pemburu berita untuk memenuhi keinginan khalayak akan informasi. Bernard C. Cohen dalam Advanced Newsgathering karangan Bryce T. McIntyre menyebutkan bahwa beberapa peran umum dijalankan pers diantaranya sebagai pelapor (informer).  Di sini pers bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa yang diluar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. Menurut saya pernyataan Bernard C. Cohen tersebut berhubungan dengan hak tahu dan memberitahukan yang ditulis oleh penulis. Dimana wartawan menjadi pelapor yang artinya, wartawan memberikan informasi kepada masyarakat. Mendapatkan informasi merupakan hak dari khalayak.

Segala hal yang berbau dengan informasi akan selalu memiliki bagian yang penting untuk khalayak. Untuk mendapatkan dan memberikan sebuah informasi atau berita, khalayak sudah mempercayakan kepada wartawan. Kesungguhan juga kerja keras wartawan akan terbayar jika dapat menyuguhkan berita yang layak dinikmati oleh semua orang yang pastinya bermanfaat. Saya sendiri, ketika melihat sebuat tayangan berita merasakan banyak manfaatnya karena dengan berita yang ditayangkan di media massa saya jadi tahu banyak hal. Misalnya mengenai masalah politik yang sedang marak-maraknya, kemudian budaya setiap daerah bahkan di dunia, juga tidak ketinggalan mengenai kuliner. Dengan diberikannya informasi setiap waktu, masyarakat tidak akan haus dan lapar terhadap informasi.

Kemudian penulis menjelaskan tentang pengertian fakta, dimana wartawan harus memberikan berita sesuai dengan kebenaran juga tidak boleh menggabungkan dan pencampuradukan antara fakta  dengan pendapat, komentar, imajinasiya sendiri. Saya setuju dengan pendapat penulis, karena khalayak tidak ingin mendapatkan informasi yang salah, maka dari itu semua kegiatan yang dilakukan oleh wartawan harus berdasarkan aturan-aturan yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik. Jangan sampai kaidah-kaidah pada peraturan yang ada tidak ditaati juga berita yang diberikan tidak sesuai. Saya rasa hal tersebut akan berdampak pada kepercayaan dari khalayak kepada wartawan, mengingat masyarakat memberikan amanah kepada wartawan untuk merealisasikan atau mengaktualisasikan hak tahu dan memberitahukannya. Wartawan yang baik harus bisa menyampaikan berita berdasarkan fakta dan kebenaran, sehingga tidak bisa apabila wartawan memberikan berita yang asal-asalan. Jika wartawan berani melakukan kebohongan dalam penyusunan berita,  itu artinya dia sudah tega membodohi khalayak dengan berita palsu yang dibuat dan lebih banyak beropini dengan versi yang tidak jelas asal usulnya. Seperti yang dikemukakan Luwi Ishwara dalam bukunya Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, wartawan harus sadar bahwa menduga, mengira, dan ceroboh dapat membawa bencana. Contohnya, dalam film Shattered Glass ketika ia bekerja pada sebuah redaksi surat kabar dan diberi tugas untuk mencari kebenaran dari sebuah kasus tiba-tiba ia tidak menemukan narasumber yang relevan. Sedangkan keterbatasan waktu dari seorang wartawan untuk mendapatkan berita hanya hitungan jam saja, maka dengan nekat ia mengarang kejadian dan pelaku pada sebuah peristiwa  dengan imajinasinya sendiri. Dampak yang didapat ketika ia diketahui berbohong adalah ia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai wartawan. Hal tersebut merugikan banyak pihak selain khalayak khususnya, tetapi juga merugikan dirinya sendiri. Pernyataan dari International News bisa dijadikan acuan untuk semua wartawan, “Get It First, But First Get It Right”. Jadilah yang pertama untuk mendapatkan berita, tetapi yang utama berita itu harus benar.

Pada bagian nilai-nilai berita, Sahat Sahala Tua Saragih memberikan tiga belas nilai berita. Menurut saya, nilai berita yang ada di dalam tulisan sudah mencakup sebagian besar nilai berita yang ada. Dengan pemaparan yang jelas, membuat pembaca akan lebih memahami maksud dari setiap poin yang diberikan. Sebuah berita harus memiliki nilai-nilai berita yang signifikan. Salah satu nilai berita yang ada di dalam tulisan ini yaitu human interest. Menurut saya nilai berita human interest harus diperhatikan, karena nilai berita yang terkandung dalam sebuah berita akan mendapatkan perhatian dari  khalayak jika berita itu menarik. Luwi Ishwara dalam Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar,  menyatakan bahwa untuk nilai berita human interest wartawan akan bertindak lebih dari sekadar mengumpulkan fakta kejadian. Ia akan menjelajahi lebih dalam mengenai unsur-unsur kemanusiaan dengan mengumpulkan bahan-bahan tambahan seperti yang menyangkut emosi, fakta biografis, kejadian-kejadian yang dramatis, deskripsi, motivasi, ambisi, kerinduan, dan kesukaan dan ketidaksukaan umum dari masyarakat. Sehingga, saya berpendapat ketika khalayak menontonnya akan ada ketertarikan untuk menghabiskan berita yang telah disuguhkan karena menyentuh rasa juga emosi khalayak.  Selain menarik, berita yang baik akan mendatangkan manfaat bagi para penikmatnya. Wartawan harus pandai mencari nilai berita yang disesuaikan dengan topik-topik yang hangat dan aktual sehingga membantu menguatkan nilai berita agar lebih berbobot. Ada baiknya nilai berita juga dikaitkan dengan realitas yang ada, baik realitas sosiologis maupun realitas psikologis. Meskipun kedua realitas tersebut tidak terlalu bisa dijadikan sebagai nilai berita yang tinggi, namun tetap saja memiliki pengaruh.

Eugene J. Webb dan Jerry R. Salancik dalam Journalism Monographs memberikan petunjuk untuk membantu wartawan mengumpulkan informasi, diantaranya yaitu observasi langsung dan tidak langsung dari situasi berita, proses wawancara, pencarian atau penelitian bahan-bahan melalui dokumen publik, dan partisipasi dalam berita. Jika melihat dari pendapat penulis, wartawan melakukan mengumpulan informasi atau pencarian fakta dengan menggunakan dua cara yaitu aktif dan pasif. Dimana aktif berarti wartawan terjun langsung ke lapangan sebagai partisipan yang aktif. Investigasi merupakan cara aktif yang dilakukan wartawan untuk menyelidiki sebuah kasus, lain lagi dengan pasif, dimana tidak melibatkan diri dalam objek suatu peristiwa. Dalam bukunya  Luwi Ishwara menjelaskan wartawan jarang terlibat dan tulisannya terbatas pada apa yang diamati secara pasif (passive recipient). Dalam ajaran jurnalisme yang lama, cara ini adalah jalan menuju obyektifitas. Laporkanlah apa yang dilihat dan didengar, demikian perintah itu, maka kebenaran akan muncul. Menurut saya, jika diperhatikan ada hubungan antara partisipasi dalam peristiwa dengan observasi, dimana observasi merupakan bagian dari kegiatan partisipasi wartawan dalam mencari berita. Saya rasa memang tidak mudah untuk menjadi seorang wartawan. Banyak tantangan yang dihadapi dalam mencari berita hingga berita yang didapat layak disuguhkan kepada masyarakat melalui media massa, namun itulah seni menjadi wartawan. Beberapa aspek yang diperlukan untuk menunjang pencarian berita sangat diperhatikan, karena dengan kriteria yang ada, pencarian berita akan menjadi akurat, katakan saja dengan cara investigasi. Dalam perjalanan peliputan untuk berita investigasi pastilah tidak mudah, banyak tantangan yang dihadapi oleh wartawan. Dengan kepercayaan dirinya juga ilmu-ilmu yang wartawan miliki tidak ketinggalan juga jiwa penantang yang suka berpetualang dalam dirinya yang haus akan informasi membuat investigasi yang dilakukan berjalan dengan baik.

Ada bagian dimana penulis menulis sebuah kata-kata, yaitu “Pertanyaan yang sangat bagus mucul hanya dari pewawancara yang bagus”.  Saya setuju dengan pernyataan tersebut, dimana untuk menjadi wartawan yang baik, dia harus mampu memberikan pertanyaan kepada narasumber dengan tepat sesuai dengan sasaran yang dituju sehingga membuat yang terwawancara juga memberikan respon yang baik berupa jawaban yang diinginkan oleh pewawancara. Menurut saya jenis pertanyaan yang diberikan wartawan kepada narasumber juga harus diperhatikan. Di sisi lain wartawan juga harus pandai-pandai mengatur strategi dalam mewawancari menggunakan pertanyaan yang dapat memberikan sensasi psikologis kepada narasumber sehingga yang terjadi adalah sang narasumber tidak mampu berkata apa-apa karena bingung harus menjawab seperti apa, atau sangkalan-sangkalan macam apa lagi guna menutupi kegugupannya. Jika wartawan sudah dapat melakukan hal tersebut, artinya wartawan tersebut  sudah berhasil. Tidak semua situasi dalam sebuah wawancara harus menggunakan pertanyaan  provokatif, namun disesuaikan dengan jenis wawancaranya, lalu suasana juga bisa dijadikan indikasi tersendiri.

Terdapat sepuluh ciri-ciri wartawan yang memiliki ciri-ciri profesional yang diberikan oleh penulis. Salah satu ciri dari wartawan yang profesional yaitu skeptis yang artinya tidak mudah percaya atas jawaban narasumber. Saya cukup tertarik dengan salah satu ciri ini. Saya rasa, seorang wartawan yang bersikap skeptis artinya dia mempuyai pemikiran yang kritis namun juga tidak bisa cepat puas akan suatu hal, wartawan dengan tipe seperti ini baru akan puas ketika narasumber  benar-benar memberikan pernyataan yang akurat. Dalam The Professional Journalist , John Hohenberg mengatakan bahwa skeptis itu ciri khas jurnalisme, sikap skeptis hendaknya juga menjadi sikap media. Hanya dengan bersikap skeptis, sebuah media dapat ‘hidup’. Melihat pernyataan dari John Hohenberg, saya sedikit kurang setuju karena pada kenyataanya, banyak media yang tidak bisa sepenuhnya bersikap skeptis, padahal dengan adanya sikap skeptis bisa memajukan pemikiran juga de-ide segar. Namun kebanyakan lebih menyukai sesuatu yang biasa, sesuatu yang hanya mengikuti alur tanpa menggerakan perubahan.

Penulis menjelaskan dalam tulisan ini, penafsiran pasal 7 Kode Etik Jurnalistik (2006) salah satunya adalah hak tolak.  Dimana, hak tolak yaitu hak wartawan untuk tidak mengukapkan  identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Menurut saya, hak tolak tersebut harus digunakan sesuai dengan situasi, dimana situasi yang terjadi termasuk keadaan yang mendesak. Seperti pendapat Rochester, NY, Democrat & Chronical  dalam buku Grophing for Ethics karya H.Eugene Goodwin yang mengatakan bahwa sumber yang tidak mau disebut identitasnya secara penuh harus menyebutkan alasannya: apakah ia khawatir kehilangan pekerjaan, keselamatan diri atau keluarganya terancam, atau alasan lainnya. Kita harus tahu motif si sumber mengapa tidak mau disebutkan namanya dan berbagi ini dengan pembaca kita. Dengan pemaparan tersebut saya membayangkan sebuah kejadian, Misalnya wartawan melakukan investigasi pada sebuah kasus yang krusial, narasumber merupakan korban tindakan pelecehan seksual. Ketika berita itu disiarkan di media massa, sang korban biasanya menolak jika nama aslinya dicantumkan sehingga wartawan akan menyamarkan nama dan wajahnya guna menghargai narasumber. Jadi diperlukan kebijakan tersendiri ketika menyikapi sebuah pemberitaan yang akan ditayangkan di media massa.


Penugasan wartawan di setiap tempat memberikan warna tersendiri, diperlukan persiapan yang matang dalam diri seorang wartawan. Menurut saya, masyarakat melihat seorang wartawan adalah orang yang serba tahu, seolah-olah bisa mengetahui apapun yang ada di dunia ini. Wartawan yang baik akan memperkaya dirinya dengan ilmu, baik dari kepribadiannya maupun pengetahuan. Dengan adanya ilmu dalam diri seorang wartawan, ketika menanyakan sebuah pertanyaan kepada narasumber, tentu ia bisa mengatur dirinya yang terlihat  dari gerak tubuh maupun perkataannya. Ketika melakukan wawancara, wartawan yang baik akan mempersiapkan dengan matang info-info mengenai kasus yang akan ia telusuri sehingga sudah memiliki bekal pembicaraan yang bernilai. Maka dari itu wartawan tidak boleh memiliki “kepala kosong” ketika mewawancarai narasumber, karena hal tersebut berdampak pada yang terwawancara. Bisa-bisa narasumber meragukan kredibilitas wartawan tersebut. 

Senin, 24 Februari 2014

Batagorku! Separuh Jiwaku

Resko, Eko, Narko. Tiga Sekawan yang memiliki nama berakhiran ‘ko’, dipertemukan dalam semangkok batagor. Mereka suka bingung dengan panggilan nama sendiri, jadinya mereka sepakat untuk memanggil memakai penggalan nama depan walau sedikit aneh jika dipraktekkan. Dengan latar kehidupan yang berbeda,  Resko yang ngakunya cowok metroseksual asli Jakarta kesukaannnya malah pake celana robek sama kaos oblong gambar leak, jangan salah sih badannya bentuknya six pack. Eko, orang  Depok cungkring yang suka nyebut dirinya bule padahal rambut pirangnya hasil cat dan kulitnya sawo matang malah jatohnya jadi mirip bule depok. Beda lagi sama Narko, cowok asli Kebumen ini orangnya ramah banget, kalau senyum lebar banget sampai-sampai bibirnya ketarik sekian senti terus giginya punya pager, badannya gembul. Perbedaan yang ada menjadi warna bagi kehidupan mereka. Tiga hal yang sama dari  mereka, pertama kuliah jurusan teknik sipil di Institut Teknologi Gajah Duduk, kedua suka makan batagor dan ketiga sama-sama tuna asmara. Apa jadinya jika persamaan diantara mereka itu menjadi sesuatu yang dipertaruhkan demi semangkok atau bahkan bermangkok-mangkok batagor? Haruskah persahabatan mereka yang dikorbankan?

Batagorku! Separuh Jiwaku

Babak 1
(Eko berjalan di sekitar koridor dan sempat-sempatnya merayu cewek)
Eko                  : (bersiul ke arah cewek di hadapannya) “Hai cewek, godain gue dong” (menyibak rambut pirang ala bule depoknya).
Cewek             : (plak!) “Najis..!” (sambil ngga liat mukanya Eko, yang ada naroh kertas tepat di muka Eko dan tahunya tuh kertas bekas bungkus gorengan).
Eko                  : “Kampret. Muka gue penuh minyak gini. Tapi lumayan deng ada sisa butiran tepung, nyam...Enak juga.” (makan butiran tepung gorengan di bungkusan itu).
(Tiba-tiba banyak segerombolan orang nyerobot, dan membuat Eko jatuh)
Eko                  : “Buset dah. Ngga sabaran banget tuh orang masuk kelasnya.” (ada uluran  tangan yang menghampiri Eko). Eh, makasih ya.”
Narko              : “Santai aja mas, namanya juga sesama manusia harus saling menolong to.” (senyum lebar sampai membentuk lengkungan sekian sentimeter)
Eko                  : “Gue setuju sama lo. Ngomong-ngomong nama lo siapa? Gue Eko. Anak teknik sipil asal Depok.” (ngulurin tangan untuk berjabat tangan)
Narko              : “Sampean anak teknik sipil to? Kalau aku sih anak ibu sama bapak aku.  Namaku Narko mas.”  (mengulurkan tangan)
Eko                  : “Oh, Narko. Yaudah deh salam kenal. Lo fakultas apa?” (matanya menyelusuri Narko dari ujung kepala sampai ujung kaki)
Narko              : “Aku kuliah fakultas teknik sipil juga Mas.” (garuk-garuk kepala yang sudah tidak  dicuci hampir seminggu)
Eko                  : “Jangan panggil mas ah. Panggil Eko aja.” (risih, kemudian kipas-kipas memakai bungkus gorengan yang penuh minyak tadi). Jangan-jangan kita sekelas lagi, ruangan D12 bukan lo?”
Narko              :(liat kertas jadwal di bindernya) “Ternyata kita seruangan mas, eh maksudnya Eko.” (masih garuk-garuk kepalanya sendiri dan membenarkan posisi kacamata min nya)
Eko                  : “Yaudah deh, ayo kita cari kelasnya bareng-bareng. Gue belum terlalu hafal wilayah sini” (tetap membawa bungkus gorengan lalu mengeluarkan kacamata hitam). Pakai kacamata dulu ah biar kece.” (memakai kacamata dan jatohnya seperti tukang pijet keliling)
(mencari kelas D12 tapi ngga ketemu)
Eko                  : “Capek gue, kita udah naik-turun tangga kok ngga nemu kelasnya sih.” (keringat bercucuran di badannnya)
Narko              : “Yaiyalah ngga nemu kelasnya la wong mas pake kacamata item. Gimana bisa kebaca tulisan di atas pintu kelasnya. Kita tadi udah lewat kelasnya loh mas,” (mukanya merah seperti udang rebus)
Eko                  : “Dodol garut! Kenapa ngga bilang daritadi!” (siap-siap menerkam bagai singa yang kelaparan)
Narko              : “Ya maaf to mas. Aku ora enak kalau ngomong nanti dikira sok tahu” (mukanya seperti chibi marukocan yang nangis tidak diberi mainan)
(Eko tidak bisa menahan emosi dan punya niat jeburin Narko ke lubang buaya. Eh tahunya pas dia mau melakukan hal itu ada yang nabrak dia sama Narko dari belakang)
(Gubrak.  Mereka jatoh bersamaan dan badan mereka saling bertumpukkan)
Narko              : “Duh, awakku ojo ditindih. Loro iki mas.” (kesakitan karena badannya paling bawah tertindih badan Eko dan orang yang tiba-tiba datang)
Resko              : “Sory, gue  ngga sengaja. Gue buru-buru nih udah telat.” (menuju ruang D12)
(Eko sama Narko bengong ngeliat cowok itu karena pake kaos terbalik dan akhirnya membuntuti dari belakang. Mereka masuk bersamaan dan tidak mau mengalah jadinya pintu penuh sama badan mereka)
Eko                  : “Gue dulu sih.” (menahan muka orang-orang yang ada di sampingnya)
Resko              : “Enak aja, gue dulu ah.” (tidak mau kalah kemudian nahan pintu pake kedua tangannya)
Narko              : “Aku dulu to mas.” (narko paling kasian cuma bisa tenggelam diantara badan orang-orang disamping dia, untung dia punya pelampung dalam badan gembulnya)
(Dosen dan mahasiswa yang ada di kelas itu menatap aneh lalu tertawa).
Dosen              : “Ngapain kalian disitu? Cepat masuk! (mata dosen membara bagai api, tiga orang yang di pintu matanya  silau melihat sesuatu yang bersinar di kepala Pak Dosen, ternyata Pak dosen tidak berambut alias botak)
Resko              : “Buset, mata gue aduh. Tolong, mana kamera. Ngga kuat” (ngucek mata sambil melambaikan tangan, kali aja ada kamera, sekalian eksis masuk tv)
Eko                  : “Hehehe, untung gue pake kacamata. Aman dah.” (nyibak rambut pertanda pamer)
Narko              : “Ayo kita masuk, udah dimarahin dosen nih kita.” (mukanya khawatir seperti ibu-ibu yang takut anaknya jajan sembarangan)
(Selesai kelas kalkulus mereka menuju kantin)
Narko              : (tampak kebingungan sembari membawa buku kalkulus) “Makan apa ya, duit nipis.”
Eko                  : “Udah makan batagor aja. Murah mengenyangkan.” (tiba-tiba muncul seperti hantu, pantes parfum yang dipake aja bau menyan)
Narko              : “Batako? Oh yang buat bangun rumah ya? Emang bisa dimakan?” (bertanya dengan muka polos)
Eko                  : “Bukan! batagor itu kepanjangannya baso tahu goreng. Jajanan khas kota ini.” (merangkul pundak Narko)
Narko              : “Oh dikirain. Sip lek ngono.” (ngangguk-ngangguk sambil mengacungkan jempol)
(Memesan batagor lalu makan di sudut meja. Eko dan Narko berhenti sejenak memakan batagor karena ada yang datang)
Eko                  : “Lo lagi. Ngapain lo disini?” (mukanya kecut kaya jeruk limau busuk)
Resko              : “Ya makanlah, yakali gue nyuci baju.” (melahap batagor didepannya)
Narko              : “Ya ngga apa-apa mas buat sampingan kerja to hehe. Nama mas siapa?” (di depannya penuh buku coretan rumus, maklum anak pinter)
Resko              : “Gue Resko, lo?” (matanya menatap Narko dan tetep makan batagor)
Eko                  : “Resko? Haha, yakali. Kayak merk baju seragam anak sekolahan aja.” (tertawa keras sampai tersedak lalu minum air kobokan yang ada di depannya)
Resko              : “Sukurin, makanya jangan ngejek orang. Kena lo. Minum tuh air kobokan” (giliran Resko tertawa puas)
Narko              : “Sudah, sesama anak rantauan jangan berantem. Mending kita ngekos bareng” (memberi solusi kayak pakara psikolog aja)
Resko              : “Ama dia? Ih ogah!” (nunjuk Eko)
Eko                  : “Apalagi gue, hih. Males!” (memalingkan muka)
Narko              : “Ojo ngono mas, ngga baik. (bag mario teguh sambil mengacungkan batagor di garpunya). Kalo kita patungan kan enak ngga terlalu berat bayar kos-kosannya. Cari kosannya yang bisa bertiga.”
Resko              : “Mana ada yang bisa bertiga?” (muka ngga yakin)
Narko              : “Ada kok mas, dua kamar jadi satu di jalan goyang senggol” (matanya menerawang)
Resko              :  “Jadi gimana? Mau ngekos bareng? Boleh juga sih soalnya duit gue nipis.” (jari tangannya nepuk-nepuk meja)
Eko                  : “Gue ikut aja deh, lagian gue masih numpang temen. Yaudah  gue minta maaf” (mengulurkan tangan ke Resko)
Resko              : “Sama gue juga, maafin gue ya?” (menjabat tangan Eko dengan terharu dan mata berbinar)
Narko              : “Nah gitu dong akur, yasudah kalo gitu kita semua temenan yo” (tangannya kedepan)
Eko&Resko     : “Teman!, jangan kelupaaan ayo acungkan batagornya ke udara, hidup batagor!” (tangan mereka bersatu ke udara membentuk formasi batagor lalu berpelukan ala teletubbies)
(Mereka ngekos bareng dan melalui hari-hari bersama. Lama-lama jadi tahu sifat aslinya)


Babak 2
Enam  Bulan Kemudian.
(Mang Udin *tukang batagor langganan tiga sekawan* melayani pembeli di kantin)
Mahasiswi       : “Mang, beli batagor dong 1, dibungkus. Ngga pake lama ya”
Mang Udin      : “Siap neng, apasih yang ngga buat neng  cantik yang kaya bidadari ini”  (tiba-tiba keputer lagu ‘Eaa’-nya Coboy Junior ‘kau bidadari jatuh dari surga di hadapanku, eaaaa’ dan tiba-tiba Mang Udin nari ala boy band Coboy Junior berpakaian ala cupid sambil bawa bunga. Eiiiit ternyata semua itu hanyalah khalayan Mang Udin saja)
Resko              : (nepuk bahu mang Udin) “Cielah, nih mang Udin. Pagi-pagi udah usaha aja. Inget istri sama anak di  rumah mang haha’
Mang Udin      : “Pan namina oge usaha mas. Da Mang Udin mah belum berkeluarga lho mas.” (sambil ngerlingin mata).
Resko              : (menahan napas karena bau menyengat dari ketek  Mang Udin yang bulunya belum dicukur) “Bohong banget sih, bilangin Teteh Lela baru tahu rasa. Nih mang, duitnya. Makasih ya” (menyodorkan uang lima ribu)
Mang Udin      : “Eh jangan atuh. Iya dah kagak lagi” (memberikan batagor ke Resko)
(Resko pun makan disekitaran kantin. Tiba-tiba suasana menjadi horror, bau menyan mulai tercium. Resko merinding, ada yang menepuk bahunya. Eko ! Ya, sahabat satunya ini cukup horror. Mampu membuat bulu ekor (emang punya?) eh maksudnya bulu kuduk Resko berdiri. Eko memiliki tujuan yang jahat, yakni menagih hutang. Resko enggan menoleh, tapi akhirnya Eko duduk di sampingnya.)
Eko                  : “Res, bayar dong utang lo, udah dua minggu nih. Entar gue mati duluan trus gue nggak ikhlas sama tuh utang.  Lo  gue gentayangin mau?
Resko              : “Yaelah Ek, duit cuma lima ribu doang lo tagih. Lebay amat sih lo sama temen sendiri. Tenang aja, entar pasti gue bayar deh. Duit gue tinggal seribu nih (liatin dompet)
Eko                  : (Liat dompetnya Resko) Ah lo janji melulu, lima ribu lumayan woi buat makan telor sama nasi. Tapi gue percaya deh. Kalo gitu bagi dikit  batagornya bisa kali.” (ngambil batagornya Resko)
Resko              : “Enak aja lo, beli sendiri dong. Tampang udah kayak bule tapi fulus kagak punye. Dasar bule Depok lo!”( merebut kembali batagor miliknya sendiri)
(Perdebatan diantara mereka semakin menjadi, sangking semangatnya batagor yang mereka pegang mencelat jauh bag roket ke arah mata cowok yang hobinya nyengir kuda sekian senti. (Plak!). Suara batagor itu seperti letupan angin yang berbunyi kencang)
Eko & Resko  : “Huahahaha. Hei cowok ganteng, itu kacamata model terbaru ya?” (nunjuk  ke arah mata cowok  yang kedua matanya penuh sama batagor beserta bumbu kacang. Eh ternyata tuh cowok Narko)
Narko              : “Kalian iki tega tenan yo sama temen sendiri. Wes dibaikin tak kerjain tugas-tugas kalian, eh malah ngelunjak” (ngelap bumbu batagor di mukanya)
Resko              : “Deuuh, Einstein KW 12 marah ni yeeeeeeeee”
Eko                  : “Eh, lo ngga boleh gitu dong Res, dia kan temen kita. Narko itu bukan Einstein KW 12, dia tuh  bobohonya Indonesia” (nepuk pundak Narko)
Resko              : “Haha, yoi jek. Doi selain itu juga Bety Lavea Versi cowok kali.”
Narko              : “Halah, yo weslah terserah. Aku mau pulang ke kosan dulu, capek mau istirahat” (membenarkan tas ransel yang ada di pundak kanannya)
Eko                  : (melirik arloji di tangan kirinya) “Masih jam segini sih Nar, lo mau balik langsung? Hah, ngga asik lo ngga asik” (Eko bergaya ngerap sambil menunjuk Narko, jam menunjukan pukul 10 pagi).
Narko              : “Ya, biarinlah suka suka aku. Wong  keinginan aku sendiri to” (logat khas Kebumen terdengar kental sekali seperti susu kental manis cap bendera).
Eko                  : “Eh, emang lo lupa? Kita belum bayar kos-an dodol!” Hari ini jatoh tempo. Katanya kos-an bersama. Kita udah nunggak sebulan.”
Resko              : “Eh, lo pada kenapa sih  ribut aja kaya anak kecil. Kalian udah mahasiswa jadi mestinya tuh.....” (nafas Resko saat berbicara pun tertahan lalu menoleh pada satu titik yang berjalan di depannya)
(Ya, tiba-tiba di hadapan mereka ada pemandangan menyegarkan jiwa juga sedap dipandang mata (bukan tiga sekawan pastinya ya). Cewek cantik, putih, rambut panjang (kuntilanak kali ah? Oh bukan). Dila, anak teknik sipil juga tapi beda kelas sama mereka. Makhluk indah yang diciptakan Tuhan yang membuat tiga sekawan terhipnotis sejenak (tiba-tiba datang Deddy Corbuzier, nah lo).
Resko              : “Buset dah, cakep bener tuh cewek” (matanya ngga  berkedip sama sekali)
Eko                  : “Bodinya men seksi abis tau ngga” (mulutnya keluar air seperti patkai dalam film kera sakti)
Narko              : “Rambutnya uapiiik tenan rek, panjang, hitam dan lurus. Pasti rambutnya mempengaruhi IQ nya nih” (tangannya mengelus dagunya dengan alis yang terangkat ke atas)
Eko dan Resko: “Yakali Nar! Mana Ada! (serempak berteriak untuk Narko lalu menjitak kepala Narko).
Refleks tiga sekawan senyum ke cewek itu sambil nyapa.
Tiga Sekawan: “Hai.....” (sambil senyum norak sok cari perhatian)
Dila                  : “Hai juga kalian...Duluan ya.” (senyum Dila manis banget, tutur katanya halus banget. Tiga sekawan jadi melayang dan terbang ke angkasa bersama dewi Amora. Bedanya mereka terbang ngga pake sayap tapi pake parasut. Eh tahunya pas melayang parasutnya lepas, jadi jatoh deh).
Tiba-tiba terlintas sebuah rencana konyol dalam benak Eko.
Eko `               : “Gimana kalo kita semua taruhan?” (kedua tangan Eko membentuk kepalan)
Resko              : “Taruhan apaan? Gue kagak punya duit nih. Main taruhan aja, kalau taruhannya narik odong-odong ya oke, lumayan dapet duit.” (memicingkan mata)
Eko                  : “Pe-A lo, ya kagak lah, gue ogah. Harga diri gue mau di kemanain kalau harus narik odong-odong?” (sambil mengepalkan tangan ke dadanya)
Resko             :  “Harga diri lo, gue pajang di mading kampus.” (sambil menjulurkan lidah)
Narko              : “Lah, buat apa to kita taruhan? Ndak baik itu. Pamali” (berusaha menjelaskan)
Eko                  : “Jadi gini, gimana kalau kita taruhan tentang cewek itu. Siapa yang cepet ngajak doi kenalan terus jalan bareng, dia bakal jadi pemenang. Dan siapa yang kalah dia harus bayarin kos-an yang udah nunggak sebulan plus traktiran batagor mang Udin sebulan penuh. Gimana? (penuh dengan senyum misterius, eh pas Eko ngeliatin gigi ada sisa sayur warna ijo nyelip di giginya)
Resko              : “Gila lo, duit darimane gue? kadang gue ngga makan. Puasa iye” (mukanya memelas)
Narko              : “Setuju aku sama Resko. La wong kita tuh makan ae bisa diitung pake jari Ek.”
Eko                  : “Ya terserah cari duitnya kaya gimana. Yang penting tujuannya kecapai, ini demi kita juga. Gimana?”
Resko              : (menimbang dengan seksama sambil membawa timbangan yang entah dapat darimana) “Oke, siapa takut” (sok-sok berani padahal dalam hatinya deg-deg-an ngga bisa bayar)
Narko              : “Yo wes, aku ikut sajalah.” (muka pasrah sambil bawa timbangan punya Resko)
Eko                  : “Oke, demi kesetiakawanan kita. Hidup Batagor! (sambil mengacungkan batagor sisa punya Resko ke udara, Eko begitu bersemangat.)
Resko & Narko: “Hidup Batagor!” (semangat yang begitu membara, seperti sedang berjuang di medan perang)
Tiga sekawan mengundang perhatian. Yang ada malah diliatin anak-anak yang lagi pada jalan dan tiga sekawan cuma bisa nyengir kuda.








Babak 3
(Keesokan harinya mereka melihat Dila dari kejauhan membuat tiga sekawan jadi ingin menghampiri Dila kemudian pasang aksi cari perhatian Dila secara rebutan)
Narko              : “Sek ah (menerobos Eko dan Resko yang beradu mata menuju Dila yang sedang duduk di meja kantin) “Eh Dilla, sendirian aja. Lagi mesen makanan?”
Dila                  : “Iya nih sekalian nunggu temen” (matanya malah dongak ke atas kayak lagi nyari cicak di dinding)
Resko              : (tiba-tiba datang). “Hai Dil, pesen makanan apa?” (terengah-engah kaya habis dikejar anjing herder)
Dila                  : “Batagor” (mukanya masih dongak ke atas. Entah apa yang dia lihat. Mungkin saja telor cicak)
Eko                  : “Cie, ada si cantik lagi mesen batagor. Abang juga suka banget ama batagor” (mesem-mesem kaya kesemek)
Dila                  : “Ngga nanya tuh” (suara datar dan muka masih tetap dongak ke atas)
Narko&Resko : “Haha, kuaciaaaaaan deh lo!” (menggerakan  tangan membentuk ombak ke atas lalu ke bawah)
Rika                 : “Sory lama, gue tadi beli minum dulu. Gimana Dil, obat matanya udah ngeresep?” (membawa dua mangkok batagor, lalu es buah dan siap-siap menari tari piring)
Dila                  : “Udah, yuk cabut” (tidak menganggap tiga sekawan)
Tiga Sekawan : “Yaaaaaah, bidadari kok pergi?” (tangannya diletakkan di bawah dagu persis gerakan khas cherrybell)
(di tempat parkir Dila dijemput oleh seseorang yang membawa mobil pick up buntung)
Eko                  :  ”Tuh lihat, kaya Dila deh” (nunjuk ke arah tempat parkir)
Narko              : “Mana? “ (membawa kresek berisi batagor buat dibawa ke kosan)
Resko              : “Eh iya bener ama siapa tuh (tampang kepo kelas dewa bujana). Samperin yuk
Tiga Sekawan : “Sore Dila, mau pulang yaaaaaa?” (suara tiga sekawan kompak banget kaya paduan suara anak sd)
Dila                  : ‘Tahu aja sih lo pada.” (muka agak jutek tapi tetep cantik dan manis)
(Orang yang ada di mobil itu keluar, dan tiga sekawan kaget.)
Eko                  : “Itu kumis apa buntelan rumput, tebel bener” (takjub dengan mulut menganga)
Narko              : “Awak’e rek, koyok ade rai KW 4” (berdecak kagum sampai lepas kacamata)
Resko              : “Ade rai sih kebagusan, mirip Agung hercules sih iya” (tertawa)
(Tiba-tiba hp laki-laki itu berbunyi dan bernada lagu “Astsuti”-nya Agung Hercules)
Resko              : “Tuh kan bener, gue kata juga apa” (badannya menggeliat)
Eko&Narko     : “HAHAHA” (tertawa mereka terdengar kencang)
Cowok Kekar  : “Apa kalian ketawa? Ngetawain saya ya?” (matanya berkilat amarah)
Tiga Sekawan : “Ah ngga kok ngga” (membuang muka)
Dila                  : “Oh iya kenalin, dia Herder. Pacar aku” (senyum bangga)
Eko                  : “Ha? Lo pacaran sama anjing herder?” (Eko kebingungan sambil melirik ke arah cowok kekar)
Cowok Kekar  : “Apa kamu bilang? (hampir melayangkan tinjuan mautnya)
Eko                  : “Ampun om. Ngga om” (bersimpuh di kaki cowok kekar bag anak yang minta ampun ke ambunya karena hendak dikutuk jadi batu)
Cowok Kekar  : “Ayo cepet dil, nanti telat” (masuk ke dalam mobil)
Dila                  : “Yaudah ya guys. Gue duluan. Bye” (melambaikan tangan kepada tiga sekawan)
(Suara lagu poco-poco terdengar sampai tempat parkir, ternyata ada perkumpulan mahasiswa Manado yang sedang nari poco-poco di seberang. Yang ngebuat tiga sekawan bingung cowok kekar langsung keluar dari mobilnya)
Cowok Kekar : “Wah, ngana pebodi poco-poco.” (lalu dia menari poco-poco di samping mobilnya dan tiga sekawan kembali menganga)
(Dan cowok kekar itu masuk kembali ketika lagunya selesai dan melesat jauh meninggalkan tiga sekawan dengan mobilnya)
Narko              : “Oalah, gagal meneh dapetin cewek” (tampang lesu sampai hati ikut lesu)
Eko                  : “Ngga jadi taruhan dong kita. Gagal dong makan gratis batagor sebulan” (selonjoran)
Resko              : “Nasib kalo jomblo ya jomblo aja deh” (melipat kedua kaki)
Mereka pasrah dengan apa yang mereka alami, lalu mereka melampiaskan dengan  batagor yang dibawa Narko.
Eko                  : “Yaudah, daripada galau mending makan batagor yuk” (merebut batagor dari tangan Narko)
Narko              : “Jangan dong itu kan aku yang beli” (berusaha merebut haknya kembali)
Resko              : “Pelit amat sih lo”
Eko                  :   “Nyok, makan batagor sampai mampoooooos nyooooooook” (nyanyi dengan nada lagu ‘ondel-ondel’)
Tiga Sekawan : “Nyooook, kita makan batagor nyooook. I lop yu puuuuul batagor!!!” (makan batagor sambil menari india)
Walapun mereka kecewa atas kejadian tragis yang menimpa. Mereka tetap mensyukuri segala hal yang terjadi dalam hidup mereka dan persahabatan mereka tidak akan pudar karena apapun lalu satu hal yang tidak bisa dihapuskan, yaitu mereka selalu cinta mati sama batagor.
--------------------------------------------------------Tamat----------------------------------------------------------