Pages

Kamis, 27 Februari 2014

Apresiasi “Pengantar Wawancara dalam Konteks Jurnalisme” Karya Sahat Sahala Tua Saragih


I.            Rangkuman
Salah satu hak asasi manusia yang bersifat universal yaitu naluri atau rasa ingin mengetahui dan memberitahukan (right to know and right to inform). Warga masyarakat menyerahkan sebuah mandat kepada wartawan untuk merealisasikan atau mengaktualisasikan hak tahu dan hak memberitahukannya. Bertanya atau berdialog dalam konteks jurnalisme disebut wawancara, melalui wawancara wartawan dapat mengetahui dan memperoleh berbagai fakta atau realitas, baik realitas sosiologis maupun realitas psikologis. Berwawancara merupakan kegiatan pokok wartawan.

Pengertian Fakta
Beberapa ahli jurnalistik mengemukakan pendapatnya, misalnya Earl English, dan Clarence  dalam buku Scholastic Journalism membagi fakta dalam dua pengertian. Pertama, fakta adalah sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, artinya fakta berupa kejadian nyata yang sudah atau sedang terjadi. Kedua, fakta adalah sesuatu yang sungguh-sungguh benar, kebenaran. Artinya, hal-hal yang dilaporkan wartawan dalam media massa memang benar, sunguh-sungguh telah dinyatakan oleh sumber  berita atau narasumber meskipun pernyataan itu tidak/belum terjadi atau tidak akan terjadi sama sekali.

Lain lagi dengan pernyataan dari pakar jurnalistik ternama, Stewart Robertson dan George Mott dalam buku mereka, New Survey of Journalism. Definisi dari pernyataan mereka kurang lebih menggambarkan penggabungan artinya bukan percampuradukan fakta dalam arti pertama (realitas sosiologis) dengan fakta dalam arti kedua (realitas psikologis) boleh saja dilakukan oleh wartawan. Hal yang tidak boleh adalah penggabungan dan percampuradukan antara fakta (dalam arti  pertama dan kedua) dengan pendapat, komentar, penilaian, imajinasi, dan simpulan wartawan sendiri.

Nilai Berita
Berikut beberapa aspek yang menjadi acuan menentukan nilai berita suatu fakta atau realitas untuk seorang wartawan, yakni :
1.    Penting (significance), yaitu kejadian/fakta yang sangat penting atau bermakna bagi kehidupan khalayak.

2.    Kedekatan (proximity), yaitu kejadian/fakta yang dilaporkan wartawan dekat dengan kehidupan khalayak.

3.    Aktualitas (timeliness), yaitu kejadian/fakta yang dilaporkan wartawan masih sangat hangat (baru saja terjadi).

4.    Ukuran (magnitude), yaitu kejadian atau fakta yang menyangkut ukuran, takaran, jarak, waktu, dan jumlah (sangat besar atau sebaliknya) yang sangat berarti bagi kehidupan khalayak.

5.    Ternama atau tenar (prominence), yaitu kejadian/fakta yang menyangkut diri orang-orang atau hal-hal yang sangat tenar di kalangan khalayak. Ketenaran tentu menyangkut tempat atau benda-benda.

6.    Konflik, yaitu fakta tentang peperangan, perkelahian, permusuhan, perselisihan, persaingan, dan yang semacamnya.

7.    Seksualitas, yaitu fakta soal laki-laki dan perempuan yang menyangkut macam-macam hubungan intim seperti lesbian, homo, gender dan aspek seks ini memiliki nilai berita tinggi bila melibatkan orang ternama atau tokoh masyarakat.

8.    Emosi atau naluri (human interest) yaitu fakta/kejadian yang bersifat insani, yang menyentuh aspek perasaan (emosi) dan naluri khalayak.

9.    Luar biasa (tidak sepert yang biasa; tidak sama dengan yang lain; istimewa) atau ganjil (lain daripada yang lain) atau janggal (tidak seperti biasanya) atau aneh (tidak biasa kita lihat, dengar, dan sebagainya).

10. Akibat atau konsekuensi yaitu kejadian/fakta yang mungkin atau pasti muncul akibat suatu kejadian/fakta tertentu.

11. Kemajuan (progress) atau Inovasi, yaitu kejadian/fakta yang menyangkut kemajuan yang dicapai suatu masyarakat dan penemuan-penemuan baru para ilmuwan dan peneliti.

12. Mukjizat (kejadian atau peristiwa ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia) atau ajaib (jarang ada, mengherankan yang tidak dapat diterangkan dengan akal).

13. Tragedi (peristiwa yang menyedihkan, menderita kesengsaraan lahir dan batin yang luar biasa atau sampai meninggal) atau bencana (yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan).

Pencarian Fakta

          Diperlukan beberapa teknik atau cara wartawan untuk “berburu” fakta atau meliput peristiwa, ini bergantung pada jenis peristiwa/fakta yang diburu. Biasanya wartawan “berburu” fakta dengan terjun langsung ke dalam peristiwa atau gejala sosial secara pasif. Dimana wartawan tidak melibatkan diri ke dalam objek “perburuan”. Dalam liputan tertentu wartawan harus mengamati langsung peristiwa atau gejala sosial secara aktif, dikhususkan dalam penulisan berita investigasi (penyelisikan). Di sini wartawan biasanya berperan sebagai pengamat aktif atau partisipatif, artinya ia ikut terjun langsung dalam peristiwa atau gejala sosial yang menjadi objek “perburuan”-nya. Kekayaan objek yang diliput sangat ditentukan oleh kekayaan subjek (peliput).\

Jenis-Jenis Pertanyaan
Dalam wawancara kita mengenal beberapa jenis pertanyaan, antara lain sebagai berikut:
a.    Pertanyaan informatif adalah pertanyaan wartawan kepada sumber berita untuk meminta informasi atau keterangan tentang suatu fakta,

b.    Pertanyaan konfirmatif adalah pertanyaan wartawan yang bertujuan meminta konfirmasi (pembenaran; penegasan; pengesahan) dari sumber berita,

c.    Pertanyaan verifikatif adalah pertanyaan wartawan yang bertujuan meminta verifikasi (pemeriksaan atau pengecekan tentang kebenaran laporan) dari sumber berita,

d.    Pertanyaan sugesif adalah pertanyaan wartawan yang bertujuan untuk menyugesti sumber berita atau narasumber,

e.    Pertanyaan provokatif adalah pertanyaan wartawan yang bertujuan menantang atau memancing sumber berita atau narasumber untuk menyatakan sesuatu yang diharapkan sang wartawan.

Dalam dunia jurnalisme ada ungakapan yang berbunyi, “Kualitas  jawaban terwawancara sangat ditentukan oleh kualitas pertanyaan pewawancara”. Ini berarti, jawaban yang sangat bagus dan terwawancara hanya mungkin (dapat) muncul dari petanyaan yang sangat bagus yang dilontarkan pewawancara. Pertanyaan yang sangat bagus muncul hanya dari pewawancara yang bagus.

Ciri-ciri Pewawancara Profesional
          Ciri-ciri pewawancara yang bagus atau profesional antara lain sebagai berikut:

a.    Memiliki pengetahuan umum yang sangat luas,

b.    Memiliki naluri atau rasa ingin tahu yang tinggi,

c.    Mampu berbahasa dengan baik (sangat fasih) sesuai dengan bahas yang dipahami terwawancara,

d.    Tidak mewancarai terwawancara dengan “kepala kosong”,

e.    Menyadari betul statusnya sebagai pemegang mandat masyarakat (hak tahu dan memberitahukan),

f.     Bersikap kritis dan skeptis, ini berarti pewawancara tidak mudah percaya terhadap ucapan terwawancara,

g.    Mampu memosisikan diri (secara psikologis) sejajar (secara horizontal) dengan terwawancara,

h.    Tidak angkuh dan sok tahu,

i.      Harus berlaku sopan dan hormat terhadap terwawancara  baik melalui penampilan (gerak fisik dan pakaian) maupun kata-kata yang diucapkan,

j.     Tidak mengintrogasi pewawancara,

k.    Mampu berempati terhadap terwawncara,

l.      Mengetahui dan menaati Kode Etik Jurnalistik yang berlaku pada zamannya

          Penafsiran pasal 7  Kode Etik Jurnalistik berbunyi demikian:

1.    Hak tolak adalah hak wartawan untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya,

2.    Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber,

3.    Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya, dan

4.    Off the record  adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
II.          Apresiasi

Tulisan “Pengantar Wawancara dalam Konteks Jurnalisme”  karya Sahat Sahala Tua Saragih menyuguhkan informasi yang bermanfaat bagi orang-orang yang ingin mengenal dunia jurnalistik lebih dekat dan mendalam, seperti saya sendiri.  Di dalam tulisannya, Sahat Sahala Tua Saragih memberikan dasar-dasar bagi seorang yang awam akan dunia kewartawanan supaya mengetahui lebih jauh. Mulai dari perkenalan mengenai pengertian fakta hingga ciri-ciri wartawan yang profesional, saya menjadi mengerti betapa alur menjadi seorang wartawan yang baik tidaklah semudah membalikan kedua tangan
.
Gaya bahasa yang digunakan Sahat Sahala Tua Saragih pada tulisan ini cukup membuat pembaca harus lebih bisa memahami makna yang terkandung dalam bacaannya. Pemilihan kata yang cukup berat, bagi orang yang kurang tertarik membaca akan membuat sedikit pusing. Namun, dibalik pemilihan kata-kata yang berat mempunyai pengertian yang baik. Saya sendiri, ketika mebaca tulisan ini tetap menikmati setiap kata yang terbaca.

Perkenalan pertama, penulis memberikan sedikit ulasan mengenai hak tahu dan hak memberitahukan yang dijadikan sebagai mandat dari masyarakat untuk wartawan. Saya rasa, hal tersebut sudah memberikan gambaran untuk pembaca supaya mengetahui sebenarnya wartawan melakukan tugasnya sebagai pemburu berita untuk memenuhi keinginan khalayak akan informasi. Bernard C. Cohen dalam Advanced Newsgathering karangan Bryce T. McIntyre menyebutkan bahwa beberapa peran umum dijalankan pers diantaranya sebagai pelapor (informer).  Di sini pers bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa yang diluar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. Menurut saya pernyataan Bernard C. Cohen tersebut berhubungan dengan hak tahu dan memberitahukan yang ditulis oleh penulis. Dimana wartawan menjadi pelapor yang artinya, wartawan memberikan informasi kepada masyarakat. Mendapatkan informasi merupakan hak dari khalayak.

Segala hal yang berbau dengan informasi akan selalu memiliki bagian yang penting untuk khalayak. Untuk mendapatkan dan memberikan sebuah informasi atau berita, khalayak sudah mempercayakan kepada wartawan. Kesungguhan juga kerja keras wartawan akan terbayar jika dapat menyuguhkan berita yang layak dinikmati oleh semua orang yang pastinya bermanfaat. Saya sendiri, ketika melihat sebuat tayangan berita merasakan banyak manfaatnya karena dengan berita yang ditayangkan di media massa saya jadi tahu banyak hal. Misalnya mengenai masalah politik yang sedang marak-maraknya, kemudian budaya setiap daerah bahkan di dunia, juga tidak ketinggalan mengenai kuliner. Dengan diberikannya informasi setiap waktu, masyarakat tidak akan haus dan lapar terhadap informasi.

Kemudian penulis menjelaskan tentang pengertian fakta, dimana wartawan harus memberikan berita sesuai dengan kebenaran juga tidak boleh menggabungkan dan pencampuradukan antara fakta  dengan pendapat, komentar, imajinasiya sendiri. Saya setuju dengan pendapat penulis, karena khalayak tidak ingin mendapatkan informasi yang salah, maka dari itu semua kegiatan yang dilakukan oleh wartawan harus berdasarkan aturan-aturan yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik. Jangan sampai kaidah-kaidah pada peraturan yang ada tidak ditaati juga berita yang diberikan tidak sesuai. Saya rasa hal tersebut akan berdampak pada kepercayaan dari khalayak kepada wartawan, mengingat masyarakat memberikan amanah kepada wartawan untuk merealisasikan atau mengaktualisasikan hak tahu dan memberitahukannya. Wartawan yang baik harus bisa menyampaikan berita berdasarkan fakta dan kebenaran, sehingga tidak bisa apabila wartawan memberikan berita yang asal-asalan. Jika wartawan berani melakukan kebohongan dalam penyusunan berita,  itu artinya dia sudah tega membodohi khalayak dengan berita palsu yang dibuat dan lebih banyak beropini dengan versi yang tidak jelas asal usulnya. Seperti yang dikemukakan Luwi Ishwara dalam bukunya Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, wartawan harus sadar bahwa menduga, mengira, dan ceroboh dapat membawa bencana. Contohnya, dalam film Shattered Glass ketika ia bekerja pada sebuah redaksi surat kabar dan diberi tugas untuk mencari kebenaran dari sebuah kasus tiba-tiba ia tidak menemukan narasumber yang relevan. Sedangkan keterbatasan waktu dari seorang wartawan untuk mendapatkan berita hanya hitungan jam saja, maka dengan nekat ia mengarang kejadian dan pelaku pada sebuah peristiwa  dengan imajinasinya sendiri. Dampak yang didapat ketika ia diketahui berbohong adalah ia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai wartawan. Hal tersebut merugikan banyak pihak selain khalayak khususnya, tetapi juga merugikan dirinya sendiri. Pernyataan dari International News bisa dijadikan acuan untuk semua wartawan, “Get It First, But First Get It Right”. Jadilah yang pertama untuk mendapatkan berita, tetapi yang utama berita itu harus benar.

Pada bagian nilai-nilai berita, Sahat Sahala Tua Saragih memberikan tiga belas nilai berita. Menurut saya, nilai berita yang ada di dalam tulisan sudah mencakup sebagian besar nilai berita yang ada. Dengan pemaparan yang jelas, membuat pembaca akan lebih memahami maksud dari setiap poin yang diberikan. Sebuah berita harus memiliki nilai-nilai berita yang signifikan. Salah satu nilai berita yang ada di dalam tulisan ini yaitu human interest. Menurut saya nilai berita human interest harus diperhatikan, karena nilai berita yang terkandung dalam sebuah berita akan mendapatkan perhatian dari  khalayak jika berita itu menarik. Luwi Ishwara dalam Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar,  menyatakan bahwa untuk nilai berita human interest wartawan akan bertindak lebih dari sekadar mengumpulkan fakta kejadian. Ia akan menjelajahi lebih dalam mengenai unsur-unsur kemanusiaan dengan mengumpulkan bahan-bahan tambahan seperti yang menyangkut emosi, fakta biografis, kejadian-kejadian yang dramatis, deskripsi, motivasi, ambisi, kerinduan, dan kesukaan dan ketidaksukaan umum dari masyarakat. Sehingga, saya berpendapat ketika khalayak menontonnya akan ada ketertarikan untuk menghabiskan berita yang telah disuguhkan karena menyentuh rasa juga emosi khalayak.  Selain menarik, berita yang baik akan mendatangkan manfaat bagi para penikmatnya. Wartawan harus pandai mencari nilai berita yang disesuaikan dengan topik-topik yang hangat dan aktual sehingga membantu menguatkan nilai berita agar lebih berbobot. Ada baiknya nilai berita juga dikaitkan dengan realitas yang ada, baik realitas sosiologis maupun realitas psikologis. Meskipun kedua realitas tersebut tidak terlalu bisa dijadikan sebagai nilai berita yang tinggi, namun tetap saja memiliki pengaruh.

Eugene J. Webb dan Jerry R. Salancik dalam Journalism Monographs memberikan petunjuk untuk membantu wartawan mengumpulkan informasi, diantaranya yaitu observasi langsung dan tidak langsung dari situasi berita, proses wawancara, pencarian atau penelitian bahan-bahan melalui dokumen publik, dan partisipasi dalam berita. Jika melihat dari pendapat penulis, wartawan melakukan mengumpulan informasi atau pencarian fakta dengan menggunakan dua cara yaitu aktif dan pasif. Dimana aktif berarti wartawan terjun langsung ke lapangan sebagai partisipan yang aktif. Investigasi merupakan cara aktif yang dilakukan wartawan untuk menyelidiki sebuah kasus, lain lagi dengan pasif, dimana tidak melibatkan diri dalam objek suatu peristiwa. Dalam bukunya  Luwi Ishwara menjelaskan wartawan jarang terlibat dan tulisannya terbatas pada apa yang diamati secara pasif (passive recipient). Dalam ajaran jurnalisme yang lama, cara ini adalah jalan menuju obyektifitas. Laporkanlah apa yang dilihat dan didengar, demikian perintah itu, maka kebenaran akan muncul. Menurut saya, jika diperhatikan ada hubungan antara partisipasi dalam peristiwa dengan observasi, dimana observasi merupakan bagian dari kegiatan partisipasi wartawan dalam mencari berita. Saya rasa memang tidak mudah untuk menjadi seorang wartawan. Banyak tantangan yang dihadapi dalam mencari berita hingga berita yang didapat layak disuguhkan kepada masyarakat melalui media massa, namun itulah seni menjadi wartawan. Beberapa aspek yang diperlukan untuk menunjang pencarian berita sangat diperhatikan, karena dengan kriteria yang ada, pencarian berita akan menjadi akurat, katakan saja dengan cara investigasi. Dalam perjalanan peliputan untuk berita investigasi pastilah tidak mudah, banyak tantangan yang dihadapi oleh wartawan. Dengan kepercayaan dirinya juga ilmu-ilmu yang wartawan miliki tidak ketinggalan juga jiwa penantang yang suka berpetualang dalam dirinya yang haus akan informasi membuat investigasi yang dilakukan berjalan dengan baik.

Ada bagian dimana penulis menulis sebuah kata-kata, yaitu “Pertanyaan yang sangat bagus mucul hanya dari pewawancara yang bagus”.  Saya setuju dengan pernyataan tersebut, dimana untuk menjadi wartawan yang baik, dia harus mampu memberikan pertanyaan kepada narasumber dengan tepat sesuai dengan sasaran yang dituju sehingga membuat yang terwawancara juga memberikan respon yang baik berupa jawaban yang diinginkan oleh pewawancara. Menurut saya jenis pertanyaan yang diberikan wartawan kepada narasumber juga harus diperhatikan. Di sisi lain wartawan juga harus pandai-pandai mengatur strategi dalam mewawancari menggunakan pertanyaan yang dapat memberikan sensasi psikologis kepada narasumber sehingga yang terjadi adalah sang narasumber tidak mampu berkata apa-apa karena bingung harus menjawab seperti apa, atau sangkalan-sangkalan macam apa lagi guna menutupi kegugupannya. Jika wartawan sudah dapat melakukan hal tersebut, artinya wartawan tersebut  sudah berhasil. Tidak semua situasi dalam sebuah wawancara harus menggunakan pertanyaan  provokatif, namun disesuaikan dengan jenis wawancaranya, lalu suasana juga bisa dijadikan indikasi tersendiri.

Terdapat sepuluh ciri-ciri wartawan yang memiliki ciri-ciri profesional yang diberikan oleh penulis. Salah satu ciri dari wartawan yang profesional yaitu skeptis yang artinya tidak mudah percaya atas jawaban narasumber. Saya cukup tertarik dengan salah satu ciri ini. Saya rasa, seorang wartawan yang bersikap skeptis artinya dia mempuyai pemikiran yang kritis namun juga tidak bisa cepat puas akan suatu hal, wartawan dengan tipe seperti ini baru akan puas ketika narasumber  benar-benar memberikan pernyataan yang akurat. Dalam The Professional Journalist , John Hohenberg mengatakan bahwa skeptis itu ciri khas jurnalisme, sikap skeptis hendaknya juga menjadi sikap media. Hanya dengan bersikap skeptis, sebuah media dapat ‘hidup’. Melihat pernyataan dari John Hohenberg, saya sedikit kurang setuju karena pada kenyataanya, banyak media yang tidak bisa sepenuhnya bersikap skeptis, padahal dengan adanya sikap skeptis bisa memajukan pemikiran juga de-ide segar. Namun kebanyakan lebih menyukai sesuatu yang biasa, sesuatu yang hanya mengikuti alur tanpa menggerakan perubahan.

Penulis menjelaskan dalam tulisan ini, penafsiran pasal 7 Kode Etik Jurnalistik (2006) salah satunya adalah hak tolak.  Dimana, hak tolak yaitu hak wartawan untuk tidak mengukapkan  identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Menurut saya, hak tolak tersebut harus digunakan sesuai dengan situasi, dimana situasi yang terjadi termasuk keadaan yang mendesak. Seperti pendapat Rochester, NY, Democrat & Chronical  dalam buku Grophing for Ethics karya H.Eugene Goodwin yang mengatakan bahwa sumber yang tidak mau disebut identitasnya secara penuh harus menyebutkan alasannya: apakah ia khawatir kehilangan pekerjaan, keselamatan diri atau keluarganya terancam, atau alasan lainnya. Kita harus tahu motif si sumber mengapa tidak mau disebutkan namanya dan berbagi ini dengan pembaca kita. Dengan pemaparan tersebut saya membayangkan sebuah kejadian, Misalnya wartawan melakukan investigasi pada sebuah kasus yang krusial, narasumber merupakan korban tindakan pelecehan seksual. Ketika berita itu disiarkan di media massa, sang korban biasanya menolak jika nama aslinya dicantumkan sehingga wartawan akan menyamarkan nama dan wajahnya guna menghargai narasumber. Jadi diperlukan kebijakan tersendiri ketika menyikapi sebuah pemberitaan yang akan ditayangkan di media massa.


Penugasan wartawan di setiap tempat memberikan warna tersendiri, diperlukan persiapan yang matang dalam diri seorang wartawan. Menurut saya, masyarakat melihat seorang wartawan adalah orang yang serba tahu, seolah-olah bisa mengetahui apapun yang ada di dunia ini. Wartawan yang baik akan memperkaya dirinya dengan ilmu, baik dari kepribadiannya maupun pengetahuan. Dengan adanya ilmu dalam diri seorang wartawan, ketika menanyakan sebuah pertanyaan kepada narasumber, tentu ia bisa mengatur dirinya yang terlihat  dari gerak tubuh maupun perkataannya. Ketika melakukan wawancara, wartawan yang baik akan mempersiapkan dengan matang info-info mengenai kasus yang akan ia telusuri sehingga sudah memiliki bekal pembicaraan yang bernilai. Maka dari itu wartawan tidak boleh memiliki “kepala kosong” ketika mewawancarai narasumber, karena hal tersebut berdampak pada yang terwawancara. Bisa-bisa narasumber meragukan kredibilitas wartawan tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar