".... Allahu Akbar Allahu Akbar.... Laaillahaillallah......"
Suara adzan subuh terdengar begitu jelas di telingaku sampai-sampai membuatku terbangun dari tidur. Penasaran saat ini pukul berapa, kulihat ponsel yang ada di samping tempat tidurku.
"... pukul 04.00...." gumamku setengah sadar.
Bergegas, aku mencari mukena yang semalam aku simpan sehabis solat isya di lipatan sajadah. Ku pakai mukena itu dan langsung menuju masjid di dekat rumahku. Ketika hendak keluar rumah tiba-tiba perutku terasa sakit seperti melilit, rasanya seperti sudah tidak bisa ditahan lagi. Namun mengingat waktu subuh yang terbatas dan aku tidak ingin melewatkan solat subuh berjamaah di masjid maka aku nekat saja langsung ke masjid.
Masjid yang biasa aku datangi dekat dengan rumahku. Tidak membutuhkan waktu yang lama menuju kesana, hanya beberapa langkah langsung sampai. Ketika aku menyelusuri jalan, udara terasa dingin dan jalanan begitu sepi.
Kulangkahkan kaki cukup cepat karena aku ingin langsung menuju WC di masjid itu. Sesampainya aku di depan masjid ku lihat pemandangan yang menarik, ya sebenernya ini bukan pemandangan dalam konteks alam, tapi aku menyebutnya sebagai keindahan yang hakiki.
"... ya Allah..... ada dia.... hmmm" ucapku sembari mempercepat langkah
Ku lihat dia sedang rukuk yang kurasa dia sedang mengerjakan salat sunah 2 rakaat sebelum salat subuh. Sejujurnya keberadaannya saat itu justru membuat konsentrasiku buyar. Tapi ternyata sakit perut yang aku rasakan mengalahkan pesona yang dia berikan.
"..... hmmm yasudahlah, toh bisa apa sih aku ini....." bergegas kulangkahkan kaki menuju WC masjid.
Beberapa menit kemudian aku keluar dari WC tersebut "akhirnya... lega juga..... hehehehe"
Tiba-tiba terdengar iqamah yang membuatku sadar aku harus cepat mengambil air wudhu. Terasa begitu terburu-buru aku memakai mukena kembali dengan gerakan yang begitu cepat.
Kakiku langsung bergerak begitu cepat. Ketika aku hendak menaiki tangga, sungguh aku tidak percaya dengan apa yang aku alami. Rasanya terjadi begitu cepat seperti hanya satu detik saja.
Apa yang aku alami. Rasanya terjadi begitu cepat seperti hanya satu detik saja.
Aku berpapasan dengannya. Pertama kali.
Tidak kuasa ku melihat wajahnya apalagi matanya. Sesungguhnya mata yang dia miliki begitu menarik, sayu menentramkan. Tapi apalah daya, yang bisa kulakukan hanya melihat dada yang terbungkus oleh baju koko berwarna merah maroon yang dia kenakan. Hanya bagian dadanya, karena tinggi badanku hanya sampai dadanya saja.
Posisi kami saat itu begitu canggung. Mungkin dia ingin berwudhu lagi setelah melakukan salat sunah 2 rakaat sebelum salat subuh. Saat itu dia hendak ingin mengambil air wudhu, sehingga dia harus turun tangga, sedangkan aku yang sudah berwudhu harus naik naik tangga.
Tangganya pun hanya beberapa anak tangga saja. Dimana setelah melewati anak tangga maka tempat salat akhwat pun terlihat, sedangkan tempat salat ikhwan berada disamping kanan tempat salat akhwat dimana dibatasi dinding. Sama halnya dengan posisi tempat wudhu antara ikhwan dan akhwat yang hanya dibatasi dinding saja.
Sadar akan kehadirannya, aku hanya bisa memalingkan wajahku ke arah kiri. Aku tidak tahu apakah dia melihat ke arahku atau tidak tapi sepertinya dia juga memalingkan muka ke arah kiri.
Tapi entahlah, mungkin dia tidak sengaja melihatku hanya satu detik lalu memalingkan muka, atau dia sama sekali tidak melihat ke arahku. Siapa yang akan peduli tentang hal ini? Tidak, aku sangat peduli.
Aku ingin merekam setiap detik memori kebersamaan kami. Namun aku tidak bisa terus berada dalam memori yang semu saja. Harus aku akui, aliran darahku seketika menjadi hangat. Ada rasa malu juga berharap yang menyelinap tanpa permisi.
Tidak ingin terlalu terbawa suasana aku langsung berjalan cepat menuju tempat salat akhwat kemudian aku salat. Bayangan wajahnya tiba-tiba menghampiri namun langsung aku pejamkan mata ini.
"...astaghfirullahaladzim.... ya Allah, jagalah mata dan hati ini..." ucapku dalam keheningan perasaan.
Just Renalou
bermimpi mengejar langit yang hendak berlari
Senin, 07 November 2016
Sabtu, 15 Oktober 2016
Bertamasya
Nyiur melambai di tepi pantai
Diselingi ombak yang berkejar kejaran
Pasir menghimpit kaki yang terjuntai
Menyelipkan senyum simpul penuh kesan
Aku terpana menatap keindahan
Bersama kawan ku telah menjelajahi
Kicauan burung semakin menguatkan
Tak sampai hati untuk mengakhiri
Diselingi ombak yang berkejar kejaran
Pasir menghimpit kaki yang terjuntai
Menyelipkan senyum simpul penuh kesan
Aku terpana menatap keindahan
Bersama kawan ku telah menjelajahi
Kicauan burung semakin menguatkan
Tak sampai hati untuk mengakhiri
Matahari
Cahaya yang muncul dari ufuk timur
Menghidupkan semangat pagi tanpa kendur
Unsur kehidupan yang tidak dapat luntur
Membuat hidup menjadi teratur
Makhluk hidup bergantung pada sinarnya
Memberikan sejuta manfaat kepada sesama
Anugerah terindah dari sang pencipta
Sudah patut kita 'tuk mensyukurinya
Menghidupkan semangat pagi tanpa kendur
Unsur kehidupan yang tidak dapat luntur
Membuat hidup menjadi teratur
Makhluk hidup bergantung pada sinarnya
Memberikan sejuta manfaat kepada sesama
Anugerah terindah dari sang pencipta
Sudah patut kita 'tuk mensyukurinya
Selasa, 24 Mei 2016
Jompang Jamping Rasa
Matanya mulai dipejamkan. Pikirannya terpaku pada khayalan semu. Dia tidak peduli pada sekelilingnya, yang terpenting hasratnya terpenuhi. Ia penuhi relung-relung hatinya dengan rasa senang, senang bisa menyapa, bercengkrama, merangkul, mendekap tanpa tersisa ruang sedikitpun.
Perlahan, matanya terbuka, dia kembali sadar akan kenyataan yang sesungguhnya. Bukan kefanaan perasaan yang dibuatnya sendiri, dan ia tersadar semua yang dirasakannya itu hanya kamuflase saja. Ya, rasa senang yang ia ciptakan dengan impiannya. Impiannya tidak tahu bisa disebut impian. Bayangkan saja, impiannya itu ia ciptakan sendiri, bisa dikatakan tidak rasional. Impian dengan menyatukan imajinasi, hei itu bukankah hal yang sah saja dilakukan?
Kembali ia membuka laptop yang selalu menemaninya dalam petualangan imajinasinya. Perlahan iya membuka page sebuah situs yang bisa membuka cakrawala pemikirannya, meningkatkan tingkat imajinasinya tapi tidak sering juga justru membuatnya down atau sejenisnya. Suatu ketika ada hal yang membuat hatinya membucah, perasaannya terombang-ambing antara rasa senang, takut atau bisa dikatakan ‘jompang-jamping rasa’.
Senang karena semua diluar ekspektasinya, takut akan kesenangan yang ia peroleh hanyalah sesuatu yang biasa saja bagi si 'dia'nya. Tak apalah, sebuah mimpi bisa didekap oleh pemikiran yang tidak logis. Terkadang memang gila, tapi tak apalah, pemikiran yang gila untuk jiwa yang gila pula, gila akan mimpi.
Dialah impiannya, impian sang gadis pemimpi yang tak lelah-lelahnya bermimpi. Seseorang di seberang sana, mengukir kertas putihnya dengan susunan impian-impiannya, ditemani cahaya yang menyinari matanya hingga membuat matanya perih. Rancangan impiannya dengan kesungguhan yang ia torehkan pada kertas putih itu, impiannya terletak disana. Ia berniat untuk mengubah dunia.
Bagaimana sang gadis tak terpesona olehnya, oh andai seseorang itu tahu sang gadis begitu memujanya, jompang-jamping perasaannya sendiri tak terelakan.
Seseorang itu hanya diam terpaku dengan kertas putihnya, kembali mengukir dengan tintanya, mengukir dunia, itulah yang dia lakukan. Jompang-jamping perasaan semakin merangkul gadis itu, apa yang harus ia perbuat.
Nyatanya semua itu hanya khayalannya saja, yang ada dia hanya bisa melihat impiannya, seseorang yang sedang ingin mengubah dunia dengan tangannya, jiwa kepemimpinannya juga pemikiran kritisnya hanya dari layar laptop saja. Oh Tuhan, miris sekali bukan, bahkan gadis itu sama sekali tidak mengenali sosok impiannya itu, impian masa depannya itu.
Bagaimana ia bisa mengatakan seseorang itu impian masa depannya jika dia sendiri tidak tahu dengan persis bagaimana citra dari impiannya itu? Oh Tuhan yang Maha Membolak-balikan hati seseorang, sudi kiranya Engkau membalikan hatinya pada gadis itu, gadis itu sedang krisis perasaan ya Tuhan.
Dia tidak berputus asa, dia nikmati semua ritme yang ada, momen demi momen yang membuatnya bahagia atau hanya ia sendiri yang merasakannya, dia tidak peduli. Yang terpenting jompang-jamping perasaanya membuahkan hasil di akhir nanti, suatu saat nanti, entah kapan.
Impiannya tidak pernah pudar, tenggelam, tertelan bumi. Impian itu selalu ada, bersemayam di pikiranya, tekadnya, hanya untuk satu tujuan. Dengan siapapun itu, tak harus dengan impiannya sekarang, impian kan impian. kenyatan-kenyataan, dua sisi yang berbeda.
Kembali matanya terpejam, bunga tidurnya kini memenuhi relungnya, alam mimpinya pun dikuasai oleh imajinasinya lagi. Dengan seseorang yang merancang impiannya untuk mengubah dunia, duh membuat sang gadis masih dalam jompang-jamping rasa, dan hal ini belum berakhir, masih ada hari esok yang lebih dipenuhi imajinasi.
Selasa, 17 Mei 2016
Dari Mata Turun ke Hati
Wisuda adalah salah satu dari sekian momen yang ditunggu setiap orang, khususnya mahasiswa tingkat akhir. Setelah sekian tahun berjuang juga berkorban demi mengejar gelar diploma, sarjana, bahkan magister akhirnya momen itu pun tiba.
Seharusnya sebagai wisudawan, Rena patut berbahagia karena apa yang ia perjuangkan membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Ia sempat menjadi salah satu calon MAWAPRES alias mahasiswa berprestasi untuk diajukan dari tingkat fakultas menuju universitas.
Ternyata ini dikarenakan ia adalah pemilik IPK tertinggi di jurusannya, sejujurnya ia tidak pernah menyangka apalagi berharap untuk diberi kesempatan ini ditambah lagi ia harus berjibaku dengan tugas akhir yang sangat menyita waktu dan pikirannya.
"hadeuh yakali deh, disuruh buat karya tulis, judul TA aja belum di acc sama dosen pembimbing" gerutunya sambil mengibaskan kertas yang ia pegang.
Kala itu ia baru saja diwawancarai oleh panitia MAWAPRES, diantaranya sekretaris program dan dosen wali nya yang kadang menyebalkan dimana ia menyuruh setiap calon MAWAPRES untuk membuat karya ilmiah yang inspiratif.
Bersyukur pihak fakultas mengerti keadaannya dengan cara tidak meloloskannya demi memfokuskan Rena untuk tugas akhir.
"Ah untung ngga dilanjutin, bisa bisa amsyong deh mikirin 2 karya tulis sekaligus. Penting TA bingit kalik.." Rena menghela nafas.
Setelah melalui sesuatu yang penuh dengan warna dan rasa, sekitar bulan Agustus 2015 ia wisuda juga.
"..... Padjadjaran lambang suci, Almamater yang tercinta..... tempat ilmu dan cita, Almamater ku tercinta..."
Alunan nada mengiringi himne universitas tempat ia bernaung, sungguh membuat air mata setiap wisudawan, khususnya ia sendiri tidak terbendung.
Walaupun bisa ditahan, namun kesakralan himne tersebut membuat ia teringat masa masa dimana harus memperjuangkan pendidikannya dimulai saat ia duduk di GOR Jati untuk mengikuti Prabu, berjibaku dengan tugas akhir, hingga ia mengenakan toga di Graha Sanusi Hardjadinata.
Satu hal lagi yang teringat adalah wajah ayah dan ibunya.
"Ibu, Ayah. Alhamdulillah aku lulus, aku persembahkan gelarku ini khusus untuk Ibu dan ayah. Terimakasih atas segala yang diberi aku bisa berdiri disini..." ucap Rena dalam hati sembari mengusap kelopak matanya.
Prosesi wisuda akhirnya selesai dan tiba saatnya bertemu dengan orang yang disayang dan spesial. Namun, ada satu hentakan dalam hati Rena
"Ya Allah, mereka tidak bisa datang, dan memang tidak mau datang"
Rasa kesal, kecewa, sedih tidak bisa ia acuhkan, namun sangat disayangkan jika salah momen terbaik dalam hidup harus dilalui dengan kesedihan. Setidaknya ada banyak orang yang masih peduli dan menyempatkan hadir, walaupun sebenernya yang tidak datang bukan berarti tidak peduli.
"Aku tetap menyayangi mereka.." ikhlas Rena dalam sunyi diantara keramaian.
Hiruk pihuk Graha Sanusi Hardjadinata membuat Ibu dan Ayah Rena mendesak Rena untuk segera menuju ke salah satu studio foto. Setibanya Rena di studio foto yang berada di Jalan Banda, ia sudah siap mengantri untuk foto wisuda.
Seminggu yang lalu ia dan Ibunya sudah memesan paket foto di studio ini supaya mendapatkan jam yang tidak terlalu sore. Namun ternyata waktu yang diinginkan sekitar jam 2 siang penuh, sehingga mau tidak mau ia mendapatkan jam awal yaitu jam 1 siang.
"silahkan mbak...." ujar salah satu fotografer yang menyuruh Rena dan orang tuanya masuk ke dalam studio.
-----------------------------*-------------------------------
Pemotretan berjalan lancar dan fotografer memberi tahu Rena tentang mekanisme pengambilan foto. Setibanya Rena memilah foto yang terbaik, Ibu nya meminta nya untuk menemani ke WC.
Ibu Rena terlihat bingung ketika benda yang ia cari dalam tasnya tidak ketemu ".... loh, Rena dompet kamu mana? kok ngga ada di tas? kamu taroh mana sih"
"ha? masa sih bu? tadi aku taroh disitu kok abis ngasih struk ke mba nya" muka Rena mulai pucat.
Akhirnya Rena kembali ke studio tempat ia melakukan sesi foto. Nihil sang fotografer tidak tahu menahu mengenai dompet yang tertinggal di studio.
"mas, mba masa sih ngga ada? tadi perasaan saya naroh tas saya disini" Rena berusaha untuk meyakinkan hatinya bahwa dompetnya bisa ia temukan tapi kenyataannnya dompet itu hilang entah kemana.
Rena berjalan cepat turun dari lantai 2 ke lantai dasar menuju costumer service di sebelah kasir siapa tahu ia mendapatkan pencerahan.
"Ya Allah, kok bisa ya dompetku hilang? bukan gimana tapi disitu banyak kartu penting, apalagi ada KTM yang tidak mungkin aku buat lagi kan udah lulus huhu" kesedihan Rena mulai terasa.
Akhirnya Rena menghampiri bagian CS namun tidak bisa diharapkan. Dengan langkah terguntai tanpa memakali heels nya ia berjalan menemui Ibu nya yang menunggu di luar. Rena merasa sangat konyol kala itu, ia lupa memakai toga dan hanya memakai baret yang ada di kepalanya, juga tidak memakai alas kaki apapun. Rena malah menjinjingnya, ia sangat panik.
"Ya Allah cobaan apalagi ini, hari ini harusnya aku bahagia.." gumam Rena
Saat Rena keluar melalu pintu yang berada di kanan, langkahnya terhenti.
Ia tidak tahu kenapa hal tersebut bisa terjadi. Justru matanya tertuju pada satu titik dimana ia terpaku untuk beberapa detik. Ia merasa nafasnya terhenti. Ada kekuatan dalam mata yang ia lihat. Tidak ada rasa, hambar namun tetap mata itu mempunyai daya tarik bagi Rena.
"ha? kok kayanya aku tahu ya orang ini? haha ih iya dia kan yang aku like"-in album fotonya. kok bisa ketemu disini ya? dia ama siapa tu? " Rena menyeringai dalam hatinya.
Sekian detik mata Rena dan mata yang ia lihat saling terpaku. Entah apa yang terjadi sampai bisa seperti ini. Rena rasa, mata yang ia lihat itu juga menunjukkan ekspresi yang datar, hambar namun sedikit penasaran, tepatnya ekspresi bingung.
Ya, ini yang namanya momen yang canggung. Rena cepat mengalihkan pandangannya, ia takut mata yang ia lihat semakin menarik untuk ia telusuri. Hingga sang pemilik mata itu masuk ke dalam lantai dasar tempat foto bersama teman perempuannya.
------------------------------*------------------------------
Rena menghampiri ibunya dan menjelaskan bahwa dompetnya tidak bisa diselamatkan. Untungnya KTP Rena tidak ada dalam dompet yang hilang itu. Setidaknya ia sedikit bernafas lega meskipun ia tidak bisa merelakan KTM sebagai identitasnya selama menjadi mahasiswa di Jatinangor. Ibu dan Ayah Rena tidak terlalu mempermasalahkan hilangnya dompet anaknya, mereka menasehati Rena supaya lebih berhati hati dalam menjaga sesuatu.
Alih alih mendengarkan nasihat orang tuanya, Rena justru terpaku pada sosok yang akan menaiki sepeda motornya, rupanya pemilik mata yang indah itu sudah keluar dari tempat foto itu.
".. dia lagi? kok bisa lihat dia lagi? ya ampun... ngga nyangka bisa lihat dia. hari ini aku wisuda, dompetku hilang tapi aku masih saja tersenyum. apa karena mata itu ya?.. ah, apa sih? plis deh yakali emangnya ftv?... ya Allah aku ini kenapa?..." gumam Rena dalam lamunannya.
Semburat kecil penuh makna menyelimuti senyum simpul Rena, tanpa sadar ia rapalkan doa doa manis sepanjang perjalanan.
"Ya Allah, apakah aku bisa melihat mata itu lagi? apakah aku bisa meyentuh mata hatinya? atau sekedar hempasan rasa yang yang sekejap saja? ya Allah aku jalani hariku sesuai rencana Mu. Jikalau Kau kehendaki, izinkan aku untuk melihat mata dan mendekap hatinya. Amin' 😊
Jonas Banda, 5 Agustus 2015
Seharusnya sebagai wisudawan, Rena patut berbahagia karena apa yang ia perjuangkan membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Ia sempat menjadi salah satu calon MAWAPRES alias mahasiswa berprestasi untuk diajukan dari tingkat fakultas menuju universitas.
Ternyata ini dikarenakan ia adalah pemilik IPK tertinggi di jurusannya, sejujurnya ia tidak pernah menyangka apalagi berharap untuk diberi kesempatan ini ditambah lagi ia harus berjibaku dengan tugas akhir yang sangat menyita waktu dan pikirannya.
"hadeuh yakali deh, disuruh buat karya tulis, judul TA aja belum di acc sama dosen pembimbing" gerutunya sambil mengibaskan kertas yang ia pegang.
Kala itu ia baru saja diwawancarai oleh panitia MAWAPRES, diantaranya sekretaris program dan dosen wali nya yang kadang menyebalkan dimana ia menyuruh setiap calon MAWAPRES untuk membuat karya ilmiah yang inspiratif.
Bersyukur pihak fakultas mengerti keadaannya dengan cara tidak meloloskannya demi memfokuskan Rena untuk tugas akhir.
"Ah untung ngga dilanjutin, bisa bisa amsyong deh mikirin 2 karya tulis sekaligus. Penting TA bingit kalik.." Rena menghela nafas.
Setelah melalui sesuatu yang penuh dengan warna dan rasa, sekitar bulan Agustus 2015 ia wisuda juga.
"..... Padjadjaran lambang suci, Almamater yang tercinta..... tempat ilmu dan cita, Almamater ku tercinta..."
Alunan nada mengiringi himne universitas tempat ia bernaung, sungguh membuat air mata setiap wisudawan, khususnya ia sendiri tidak terbendung.
Walaupun bisa ditahan, namun kesakralan himne tersebut membuat ia teringat masa masa dimana harus memperjuangkan pendidikannya dimulai saat ia duduk di GOR Jati untuk mengikuti Prabu, berjibaku dengan tugas akhir, hingga ia mengenakan toga di Graha Sanusi Hardjadinata.
Satu hal lagi yang teringat adalah wajah ayah dan ibunya.
"Ibu, Ayah. Alhamdulillah aku lulus, aku persembahkan gelarku ini khusus untuk Ibu dan ayah. Terimakasih atas segala yang diberi aku bisa berdiri disini..." ucap Rena dalam hati sembari mengusap kelopak matanya.
Prosesi wisuda akhirnya selesai dan tiba saatnya bertemu dengan orang yang disayang dan spesial. Namun, ada satu hentakan dalam hati Rena
"Ya Allah, mereka tidak bisa datang, dan memang tidak mau datang"
Rasa kesal, kecewa, sedih tidak bisa ia acuhkan, namun sangat disayangkan jika salah momen terbaik dalam hidup harus dilalui dengan kesedihan. Setidaknya ada banyak orang yang masih peduli dan menyempatkan hadir, walaupun sebenernya yang tidak datang bukan berarti tidak peduli.
"Aku tetap menyayangi mereka.." ikhlas Rena dalam sunyi diantara keramaian.
Hiruk pihuk Graha Sanusi Hardjadinata membuat Ibu dan Ayah Rena mendesak Rena untuk segera menuju ke salah satu studio foto. Setibanya Rena di studio foto yang berada di Jalan Banda, ia sudah siap mengantri untuk foto wisuda.
Seminggu yang lalu ia dan Ibunya sudah memesan paket foto di studio ini supaya mendapatkan jam yang tidak terlalu sore. Namun ternyata waktu yang diinginkan sekitar jam 2 siang penuh, sehingga mau tidak mau ia mendapatkan jam awal yaitu jam 1 siang.
"silahkan mbak...." ujar salah satu fotografer yang menyuruh Rena dan orang tuanya masuk ke dalam studio.
-----------------------------*-------------------------------
Pemotretan berjalan lancar dan fotografer memberi tahu Rena tentang mekanisme pengambilan foto. Setibanya Rena memilah foto yang terbaik, Ibu nya meminta nya untuk menemani ke WC.
Ibu Rena terlihat bingung ketika benda yang ia cari dalam tasnya tidak ketemu ".... loh, Rena dompet kamu mana? kok ngga ada di tas? kamu taroh mana sih"
"ha? masa sih bu? tadi aku taroh disitu kok abis ngasih struk ke mba nya" muka Rena mulai pucat.
Akhirnya Rena kembali ke studio tempat ia melakukan sesi foto. Nihil sang fotografer tidak tahu menahu mengenai dompet yang tertinggal di studio.
"mas, mba masa sih ngga ada? tadi perasaan saya naroh tas saya disini" Rena berusaha untuk meyakinkan hatinya bahwa dompetnya bisa ia temukan tapi kenyataannnya dompet itu hilang entah kemana.
Rena berjalan cepat turun dari lantai 2 ke lantai dasar menuju costumer service di sebelah kasir siapa tahu ia mendapatkan pencerahan.
"Ya Allah, kok bisa ya dompetku hilang? bukan gimana tapi disitu banyak kartu penting, apalagi ada KTM yang tidak mungkin aku buat lagi kan udah lulus huhu" kesedihan Rena mulai terasa.
Akhirnya Rena menghampiri bagian CS namun tidak bisa diharapkan. Dengan langkah terguntai tanpa memakali heels nya ia berjalan menemui Ibu nya yang menunggu di luar. Rena merasa sangat konyol kala itu, ia lupa memakai toga dan hanya memakai baret yang ada di kepalanya, juga tidak memakai alas kaki apapun. Rena malah menjinjingnya, ia sangat panik.
"Ya Allah cobaan apalagi ini, hari ini harusnya aku bahagia.." gumam Rena
Saat Rena keluar melalu pintu yang berada di kanan, langkahnya terhenti.
Ia tidak tahu kenapa hal tersebut bisa terjadi. Justru matanya tertuju pada satu titik dimana ia terpaku untuk beberapa detik. Ia merasa nafasnya terhenti. Ada kekuatan dalam mata yang ia lihat. Tidak ada rasa, hambar namun tetap mata itu mempunyai daya tarik bagi Rena.
"ha? kok kayanya aku tahu ya orang ini? haha ih iya dia kan yang aku like"-in album fotonya. kok bisa ketemu disini ya? dia ama siapa tu? " Rena menyeringai dalam hatinya.
Sekian detik mata Rena dan mata yang ia lihat saling terpaku. Entah apa yang terjadi sampai bisa seperti ini. Rena rasa, mata yang ia lihat itu juga menunjukkan ekspresi yang datar, hambar namun sedikit penasaran, tepatnya ekspresi bingung.
Ya, ini yang namanya momen yang canggung. Rena cepat mengalihkan pandangannya, ia takut mata yang ia lihat semakin menarik untuk ia telusuri. Hingga sang pemilik mata itu masuk ke dalam lantai dasar tempat foto bersama teman perempuannya.
------------------------------*------------------------------
Rena menghampiri ibunya dan menjelaskan bahwa dompetnya tidak bisa diselamatkan. Untungnya KTP Rena tidak ada dalam dompet yang hilang itu. Setidaknya ia sedikit bernafas lega meskipun ia tidak bisa merelakan KTM sebagai identitasnya selama menjadi mahasiswa di Jatinangor. Ibu dan Ayah Rena tidak terlalu mempermasalahkan hilangnya dompet anaknya, mereka menasehati Rena supaya lebih berhati hati dalam menjaga sesuatu.
Alih alih mendengarkan nasihat orang tuanya, Rena justru terpaku pada sosok yang akan menaiki sepeda motornya, rupanya pemilik mata yang indah itu sudah keluar dari tempat foto itu.
".. dia lagi? kok bisa lihat dia lagi? ya ampun... ngga nyangka bisa lihat dia. hari ini aku wisuda, dompetku hilang tapi aku masih saja tersenyum. apa karena mata itu ya?.. ah, apa sih? plis deh yakali emangnya ftv?... ya Allah aku ini kenapa?..." gumam Rena dalam lamunannya.
Semburat kecil penuh makna menyelimuti senyum simpul Rena, tanpa sadar ia rapalkan doa doa manis sepanjang perjalanan.
"Ya Allah, apakah aku bisa melihat mata itu lagi? apakah aku bisa meyentuh mata hatinya? atau sekedar hempasan rasa yang yang sekejap saja? ya Allah aku jalani hariku sesuai rencana Mu. Jikalau Kau kehendaki, izinkan aku untuk melihat mata dan mendekap hatinya. Amin' 😊
Jonas Banda, 5 Agustus 2015
Kamis, 27 Februari 2014
Apresiasi “Pengantar Wawancara dalam Konteks Jurnalisme” Karya Sahat Sahala Tua Saragih
I. Rangkuman
Salah satu hak asasi manusia yang bersifat universal yaitu naluri atau rasa ingin mengetahui dan memberitahukan (right to know and right to inform). Warga masyarakat menyerahkan sebuah mandat kepada wartawan untuk merealisasikan atau mengaktualisasikan hak tahu dan hak memberitahukannya. Bertanya atau berdialog dalam konteks jurnalisme disebut wawancara, melalui wawancara wartawan dapat mengetahui dan memperoleh berbagai fakta atau realitas, baik realitas sosiologis maupun realitas psikologis. Berwawancara merupakan kegiatan pokok wartawan.
Pengertian Fakta
Beberapa ahli jurnalistik mengemukakan pendapatnya, misalnya Earl English, dan Clarence dalam buku Scholastic Journalism membagi fakta dalam dua pengertian. Pertama, fakta adalah sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, artinya fakta berupa kejadian nyata yang sudah atau sedang terjadi. Kedua, fakta adalah sesuatu yang sungguh-sungguh benar, kebenaran. Artinya, hal-hal yang dilaporkan wartawan dalam media massa memang benar, sunguh-sungguh telah dinyatakan oleh sumber berita atau narasumber meskipun pernyataan itu tidak/belum terjadi atau tidak akan terjadi sama sekali.
Lain lagi dengan pernyataan dari pakar jurnalistik ternama, Stewart Robertson dan George Mott dalam buku mereka, New Survey of Journalism. Definisi dari pernyataan mereka kurang lebih menggambarkan penggabungan artinya bukan percampuradukan fakta dalam arti pertama (realitas sosiologis) dengan fakta dalam arti kedua (realitas psikologis) boleh saja dilakukan oleh wartawan. Hal yang tidak boleh adalah penggabungan dan percampuradukan antara fakta (dalam arti pertama dan kedua) dengan pendapat, komentar, penilaian, imajinasi, dan simpulan wartawan sendiri.
Nilai Berita
Berikut beberapa aspek yang menjadi acuan menentukan nilai berita suatu fakta atau realitas untuk seorang wartawan, yakni :
1. Penting (significance), yaitu kejadian/fakta yang sangat penting atau bermakna bagi kehidupan khalayak.
2. Kedekatan (proximity), yaitu kejadian/fakta yang dilaporkan wartawan dekat dengan kehidupan khalayak.
3. Aktualitas (timeliness), yaitu kejadian/fakta yang dilaporkan wartawan masih sangat hangat (baru saja terjadi).
4. Ukuran (magnitude), yaitu kejadian atau fakta yang menyangkut ukuran, takaran, jarak, waktu, dan jumlah (sangat besar atau sebaliknya) yang sangat berarti bagi kehidupan khalayak.
5. Ternama atau tenar (prominence), yaitu kejadian/fakta yang menyangkut diri orang-orang atau hal-hal yang sangat tenar di kalangan khalayak. Ketenaran tentu menyangkut tempat atau benda-benda.
6. Konflik, yaitu fakta tentang peperangan, perkelahian, permusuhan, perselisihan, persaingan, dan yang semacamnya.
7. Seksualitas, yaitu fakta soal laki-laki dan perempuan yang menyangkut macam-macam hubungan intim seperti lesbian, homo, gender dan aspek seks ini memiliki nilai berita tinggi bila melibatkan orang ternama atau tokoh masyarakat.
8. Emosi atau naluri (human interest) yaitu fakta/kejadian yang bersifat insani, yang menyentuh aspek perasaan (emosi) dan naluri khalayak.
9. Luar biasa (tidak sepert yang biasa; tidak sama dengan yang lain; istimewa) atau ganjil (lain daripada yang lain) atau janggal (tidak seperti biasanya) atau aneh (tidak biasa kita lihat, dengar, dan sebagainya).
10. Akibat atau konsekuensi yaitu kejadian/fakta yang mungkin atau pasti muncul akibat suatu kejadian/fakta tertentu.
11. Kemajuan (progress) atau Inovasi, yaitu kejadian/fakta yang menyangkut kemajuan yang dicapai suatu masyarakat dan penemuan-penemuan baru para ilmuwan dan peneliti.
12. Mukjizat (kejadian atau peristiwa ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia) atau ajaib (jarang ada, mengherankan yang tidak dapat diterangkan dengan akal).
13. Tragedi (peristiwa yang menyedihkan, menderita kesengsaraan lahir dan batin yang luar biasa atau sampai meninggal) atau bencana (yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan).
Pencarian Fakta
Diperlukan beberapa teknik atau cara wartawan untuk “berburu” fakta atau meliput peristiwa, ini bergantung pada jenis peristiwa/fakta yang diburu. Biasanya wartawan “berburu” fakta dengan terjun langsung ke dalam peristiwa atau gejala sosial secara pasif. Dimana wartawan tidak melibatkan diri ke dalam objek “perburuan”. Dalam liputan tertentu wartawan harus mengamati langsung peristiwa atau gejala sosial secara aktif, dikhususkan dalam penulisan berita investigasi (penyelisikan). Di sini wartawan biasanya berperan sebagai pengamat aktif atau partisipatif, artinya ia ikut terjun langsung dalam peristiwa atau gejala sosial yang menjadi objek “perburuan”-nya. Kekayaan objek yang diliput sangat ditentukan oleh kekayaan subjek (peliput).\
Jenis-Jenis Pertanyaan
Dalam wawancara kita mengenal beberapa jenis pertanyaan, antara lain sebagai berikut:
a. Pertanyaan informatif adalah pertanyaan wartawan kepada sumber berita untuk meminta informasi atau keterangan tentang suatu fakta,
b. Pertanyaan konfirmatif adalah pertanyaan wartawan yang bertujuan meminta konfirmasi (pembenaran; penegasan; pengesahan) dari sumber berita,
c. Pertanyaan verifikatif adalah pertanyaan wartawan yang bertujuan meminta verifikasi (pemeriksaan atau pengecekan tentang kebenaran laporan) dari sumber berita,
d. Pertanyaan sugesif adalah pertanyaan wartawan yang bertujuan untuk menyugesti sumber berita atau narasumber,
e. Pertanyaan provokatif adalah pertanyaan wartawan yang bertujuan menantang atau memancing sumber berita atau narasumber untuk menyatakan sesuatu yang diharapkan sang wartawan.
Dalam dunia jurnalisme ada ungakapan yang berbunyi, “Kualitas jawaban terwawancara sangat ditentukan oleh kualitas pertanyaan pewawancara”. Ini berarti, jawaban yang sangat bagus dan terwawancara hanya mungkin (dapat) muncul dari petanyaan yang sangat bagus yang dilontarkan pewawancara. Pertanyaan yang sangat bagus muncul hanya dari pewawancara yang bagus.
Ciri-ciri Pewawancara Profesional
Ciri-ciri pewawancara yang bagus atau profesional antara lain sebagai berikut:
a. Memiliki pengetahuan umum yang sangat luas,
b. Memiliki naluri atau rasa ingin tahu yang tinggi,
c. Mampu berbahasa dengan baik (sangat fasih) sesuai dengan bahas yang dipahami terwawancara,
d. Tidak mewancarai terwawancara dengan “kepala kosong”,
e. Menyadari betul statusnya sebagai pemegang mandat masyarakat (hak tahu dan memberitahukan),
f. Bersikap kritis dan skeptis, ini berarti pewawancara tidak mudah percaya terhadap ucapan terwawancara,
g. Mampu memosisikan diri (secara psikologis) sejajar (secara horizontal) dengan terwawancara,
h. Tidak angkuh dan sok tahu,
i. Harus berlaku sopan dan hormat terhadap terwawancara baik melalui penampilan (gerak fisik dan pakaian) maupun kata-kata yang diucapkan,
j. Tidak mengintrogasi pewawancara,
k. Mampu berempati terhadap terwawncara,
l. Mengetahui dan menaati Kode Etik Jurnalistik yang berlaku pada zamannya
Penafsiran pasal 7 Kode Etik Jurnalistik berbunyi demikian:
1. Hak tolak adalah hak wartawan untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya,
2. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber,
3. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya, dan
4. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
II. Apresiasi
Tulisan “Pengantar Wawancara dalam Konteks Jurnalisme” karya Sahat Sahala Tua Saragih menyuguhkan informasi yang bermanfaat bagi orang-orang yang ingin mengenal dunia jurnalistik lebih dekat dan mendalam, seperti saya sendiri. Di dalam tulisannya, Sahat Sahala Tua Saragih memberikan dasar-dasar bagi seorang yang awam akan dunia kewartawanan supaya mengetahui lebih jauh. Mulai dari perkenalan mengenai pengertian fakta hingga ciri-ciri wartawan yang profesional, saya menjadi mengerti betapa alur menjadi seorang wartawan yang baik tidaklah semudah membalikan kedua tangan
.
Gaya bahasa yang digunakan Sahat Sahala Tua Saragih pada tulisan ini cukup membuat pembaca harus lebih bisa memahami makna yang terkandung dalam bacaannya. Pemilihan kata yang cukup berat, bagi orang yang kurang tertarik membaca akan membuat sedikit pusing. Namun, dibalik pemilihan kata-kata yang berat mempunyai pengertian yang baik. Saya sendiri, ketika mebaca tulisan ini tetap menikmati setiap kata yang terbaca.
Perkenalan pertama, penulis memberikan sedikit ulasan mengenai hak tahu dan hak memberitahukan yang dijadikan sebagai mandat dari masyarakat untuk wartawan. Saya rasa, hal tersebut sudah memberikan gambaran untuk pembaca supaya mengetahui sebenarnya wartawan melakukan tugasnya sebagai pemburu berita untuk memenuhi keinginan khalayak akan informasi. Bernard C. Cohen dalam Advanced Newsgathering karangan Bryce T. McIntyre menyebutkan bahwa beberapa peran umum dijalankan pers diantaranya sebagai pelapor (informer). Di sini pers bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa yang diluar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. Menurut saya pernyataan Bernard C. Cohen tersebut berhubungan dengan hak tahu dan memberitahukan yang ditulis oleh penulis. Dimana wartawan menjadi pelapor yang artinya, wartawan memberikan informasi kepada masyarakat. Mendapatkan informasi merupakan hak dari khalayak.
Segala hal yang berbau dengan informasi akan selalu memiliki bagian yang penting untuk khalayak. Untuk mendapatkan dan memberikan sebuah informasi atau berita, khalayak sudah mempercayakan kepada wartawan. Kesungguhan juga kerja keras wartawan akan terbayar jika dapat menyuguhkan berita yang layak dinikmati oleh semua orang yang pastinya bermanfaat. Saya sendiri, ketika melihat sebuat tayangan berita merasakan banyak manfaatnya karena dengan berita yang ditayangkan di media massa saya jadi tahu banyak hal. Misalnya mengenai masalah politik yang sedang marak-maraknya, kemudian budaya setiap daerah bahkan di dunia, juga tidak ketinggalan mengenai kuliner. Dengan diberikannya informasi setiap waktu, masyarakat tidak akan haus dan lapar terhadap informasi.
Kemudian penulis menjelaskan tentang pengertian fakta, dimana wartawan harus memberikan berita sesuai dengan kebenaran juga tidak boleh menggabungkan dan pencampuradukan antara fakta dengan pendapat, komentar, imajinasiya sendiri. Saya setuju dengan pendapat penulis, karena khalayak tidak ingin mendapatkan informasi yang salah, maka dari itu semua kegiatan yang dilakukan oleh wartawan harus berdasarkan aturan-aturan yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik. Jangan sampai kaidah-kaidah pada peraturan yang ada tidak ditaati juga berita yang diberikan tidak sesuai. Saya rasa hal tersebut akan berdampak pada kepercayaan dari khalayak kepada wartawan, mengingat masyarakat memberikan amanah kepada wartawan untuk merealisasikan atau mengaktualisasikan hak tahu dan memberitahukannya. Wartawan yang baik harus bisa menyampaikan berita berdasarkan fakta dan kebenaran, sehingga tidak bisa apabila wartawan memberikan berita yang asal-asalan. Jika wartawan berani melakukan kebohongan dalam penyusunan berita, itu artinya dia sudah tega membodohi khalayak dengan berita palsu yang dibuat dan lebih banyak beropini dengan versi yang tidak jelas asal usulnya. Seperti yang dikemukakan Luwi Ishwara dalam bukunya Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, wartawan harus sadar bahwa menduga, mengira, dan ceroboh dapat membawa bencana. Contohnya, dalam film Shattered Glass ketika ia bekerja pada sebuah redaksi surat kabar dan diberi tugas untuk mencari kebenaran dari sebuah kasus tiba-tiba ia tidak menemukan narasumber yang relevan. Sedangkan keterbatasan waktu dari seorang wartawan untuk mendapatkan berita hanya hitungan jam saja, maka dengan nekat ia mengarang kejadian dan pelaku pada sebuah peristiwa dengan imajinasinya sendiri. Dampak yang didapat ketika ia diketahui berbohong adalah ia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai wartawan. Hal tersebut merugikan banyak pihak selain khalayak khususnya, tetapi juga merugikan dirinya sendiri. Pernyataan dari International News bisa dijadikan acuan untuk semua wartawan, “Get It First, But First Get It Right”. Jadilah yang pertama untuk mendapatkan berita, tetapi yang utama berita itu harus benar.
Pada bagian nilai-nilai berita, Sahat Sahala Tua Saragih memberikan tiga belas nilai berita. Menurut saya, nilai berita yang ada di dalam tulisan sudah mencakup sebagian besar nilai berita yang ada. Dengan pemaparan yang jelas, membuat pembaca akan lebih memahami maksud dari setiap poin yang diberikan. Sebuah berita harus memiliki nilai-nilai berita yang signifikan. Salah satu nilai berita yang ada di dalam tulisan ini yaitu human interest. Menurut saya nilai berita human interest harus diperhatikan, karena nilai berita yang terkandung dalam sebuah berita akan mendapatkan perhatian dari khalayak jika berita itu menarik. Luwi Ishwara dalam Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, menyatakan bahwa untuk nilai berita human interest wartawan akan bertindak lebih dari sekadar mengumpulkan fakta kejadian. Ia akan menjelajahi lebih dalam mengenai unsur-unsur kemanusiaan dengan mengumpulkan bahan-bahan tambahan seperti yang menyangkut emosi, fakta biografis, kejadian-kejadian yang dramatis, deskripsi, motivasi, ambisi, kerinduan, dan kesukaan dan ketidaksukaan umum dari masyarakat. Sehingga, saya berpendapat ketika khalayak menontonnya akan ada ketertarikan untuk menghabiskan berita yang telah disuguhkan karena menyentuh rasa juga emosi khalayak. Selain menarik, berita yang baik akan mendatangkan manfaat bagi para penikmatnya. Wartawan harus pandai mencari nilai berita yang disesuaikan dengan topik-topik yang hangat dan aktual sehingga membantu menguatkan nilai berita agar lebih berbobot. Ada baiknya nilai berita juga dikaitkan dengan realitas yang ada, baik realitas sosiologis maupun realitas psikologis. Meskipun kedua realitas tersebut tidak terlalu bisa dijadikan sebagai nilai berita yang tinggi, namun tetap saja memiliki pengaruh.
Eugene J. Webb dan Jerry R. Salancik dalam Journalism Monographs memberikan petunjuk untuk membantu wartawan mengumpulkan informasi, diantaranya yaitu observasi langsung dan tidak langsung dari situasi berita, proses wawancara, pencarian atau penelitian bahan-bahan melalui dokumen publik, dan partisipasi dalam berita. Jika melihat dari pendapat penulis, wartawan melakukan mengumpulan informasi atau pencarian fakta dengan menggunakan dua cara yaitu aktif dan pasif. Dimana aktif berarti wartawan terjun langsung ke lapangan sebagai partisipan yang aktif. Investigasi merupakan cara aktif yang dilakukan wartawan untuk menyelidiki sebuah kasus, lain lagi dengan pasif, dimana tidak melibatkan diri dalam objek suatu peristiwa. Dalam bukunya Luwi Ishwara menjelaskan wartawan jarang terlibat dan tulisannya terbatas pada apa yang diamati secara pasif (passive recipient). Dalam ajaran jurnalisme yang lama, cara ini adalah jalan menuju obyektifitas. Laporkanlah apa yang dilihat dan didengar, demikian perintah itu, maka kebenaran akan muncul. Menurut saya, jika diperhatikan ada hubungan antara partisipasi dalam peristiwa dengan observasi, dimana observasi merupakan bagian dari kegiatan partisipasi wartawan dalam mencari berita. Saya rasa memang tidak mudah untuk menjadi seorang wartawan. Banyak tantangan yang dihadapi dalam mencari berita hingga berita yang didapat layak disuguhkan kepada masyarakat melalui media massa, namun itulah seni menjadi wartawan. Beberapa aspek yang diperlukan untuk menunjang pencarian berita sangat diperhatikan, karena dengan kriteria yang ada, pencarian berita akan menjadi akurat, katakan saja dengan cara investigasi. Dalam perjalanan peliputan untuk berita investigasi pastilah tidak mudah, banyak tantangan yang dihadapi oleh wartawan. Dengan kepercayaan dirinya juga ilmu-ilmu yang wartawan miliki tidak ketinggalan juga jiwa penantang yang suka berpetualang dalam dirinya yang haus akan informasi membuat investigasi yang dilakukan berjalan dengan baik.
Ada bagian dimana penulis menulis sebuah kata-kata, yaitu “Pertanyaan yang sangat bagus mucul hanya dari pewawancara yang bagus”. Saya setuju dengan pernyataan tersebut, dimana untuk menjadi wartawan yang baik, dia harus mampu memberikan pertanyaan kepada narasumber dengan tepat sesuai dengan sasaran yang dituju sehingga membuat yang terwawancara juga memberikan respon yang baik berupa jawaban yang diinginkan oleh pewawancara. Menurut saya jenis pertanyaan yang diberikan wartawan kepada narasumber juga harus diperhatikan. Di sisi lain wartawan juga harus pandai-pandai mengatur strategi dalam mewawancari menggunakan pertanyaan yang dapat memberikan sensasi psikologis kepada narasumber sehingga yang terjadi adalah sang narasumber tidak mampu berkata apa-apa karena bingung harus menjawab seperti apa, atau sangkalan-sangkalan macam apa lagi guna menutupi kegugupannya. Jika wartawan sudah dapat melakukan hal tersebut, artinya wartawan tersebut sudah berhasil. Tidak semua situasi dalam sebuah wawancara harus menggunakan pertanyaan provokatif, namun disesuaikan dengan jenis wawancaranya, lalu suasana juga bisa dijadikan indikasi tersendiri.
Terdapat sepuluh ciri-ciri wartawan yang memiliki ciri-ciri profesional yang diberikan oleh penulis. Salah satu ciri dari wartawan yang profesional yaitu skeptis yang artinya tidak mudah percaya atas jawaban narasumber. Saya cukup tertarik dengan salah satu ciri ini. Saya rasa, seorang wartawan yang bersikap skeptis artinya dia mempuyai pemikiran yang kritis namun juga tidak bisa cepat puas akan suatu hal, wartawan dengan tipe seperti ini baru akan puas ketika narasumber benar-benar memberikan pernyataan yang akurat. Dalam The Professional Journalist , John Hohenberg mengatakan bahwa skeptis itu ciri khas jurnalisme, sikap skeptis hendaknya juga menjadi sikap media. Hanya dengan bersikap skeptis, sebuah media dapat ‘hidup’. Melihat pernyataan dari John Hohenberg, saya sedikit kurang setuju karena pada kenyataanya, banyak media yang tidak bisa sepenuhnya bersikap skeptis, padahal dengan adanya sikap skeptis bisa memajukan pemikiran juga de-ide segar. Namun kebanyakan lebih menyukai sesuatu yang biasa, sesuatu yang hanya mengikuti alur tanpa menggerakan perubahan.
Penulis menjelaskan dalam tulisan ini, penafsiran pasal 7 Kode Etik Jurnalistik (2006) salah satunya adalah hak tolak. Dimana, hak tolak yaitu hak wartawan untuk tidak mengukapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Menurut saya, hak tolak tersebut harus digunakan sesuai dengan situasi, dimana situasi yang terjadi termasuk keadaan yang mendesak. Seperti pendapat Rochester, NY, Democrat & Chronical dalam buku Grophing for Ethics karya H.Eugene Goodwin yang mengatakan bahwa sumber yang tidak mau disebut identitasnya secara penuh harus menyebutkan alasannya: apakah ia khawatir kehilangan pekerjaan, keselamatan diri atau keluarganya terancam, atau alasan lainnya. Kita harus tahu motif si sumber mengapa tidak mau disebutkan namanya dan berbagi ini dengan pembaca kita. Dengan pemaparan tersebut saya membayangkan sebuah kejadian, Misalnya wartawan melakukan investigasi pada sebuah kasus yang krusial, narasumber merupakan korban tindakan pelecehan seksual. Ketika berita itu disiarkan di media massa, sang korban biasanya menolak jika nama aslinya dicantumkan sehingga wartawan akan menyamarkan nama dan wajahnya guna menghargai narasumber. Jadi diperlukan kebijakan tersendiri ketika menyikapi sebuah pemberitaan yang akan ditayangkan di media massa.
Penugasan wartawan di setiap tempat memberikan warna tersendiri, diperlukan persiapan yang matang dalam diri seorang wartawan. Menurut saya, masyarakat melihat seorang wartawan adalah orang yang serba tahu, seolah-olah bisa mengetahui apapun yang ada di dunia ini. Wartawan yang baik akan memperkaya dirinya dengan ilmu, baik dari kepribadiannya maupun pengetahuan. Dengan adanya ilmu dalam diri seorang wartawan, ketika menanyakan sebuah pertanyaan kepada narasumber, tentu ia bisa mengatur dirinya yang terlihat dari gerak tubuh maupun perkataannya. Ketika melakukan wawancara, wartawan yang baik akan mempersiapkan dengan matang info-info mengenai kasus yang akan ia telusuri sehingga sudah memiliki bekal pembicaraan yang bernilai. Maka dari itu wartawan tidak boleh memiliki “kepala kosong” ketika mewawancarai narasumber, karena hal tersebut berdampak pada yang terwawancara. Bisa-bisa narasumber meragukan kredibilitas wartawan tersebut.
Senin, 24 Februari 2014
Batagorku! Separuh Jiwaku
Resko,
Eko, Narko. Tiga Sekawan yang memiliki nama berakhiran ‘ko’, dipertemukan dalam
semangkok batagor. Mereka suka bingung dengan panggilan nama sendiri, jadinya
mereka sepakat untuk memanggil memakai penggalan nama depan walau sedikit aneh
jika dipraktekkan. Dengan latar kehidupan yang berbeda, Resko yang ngakunya cowok metroseksual asli
Jakarta kesukaannnya malah pake celana robek sama kaos oblong gambar leak,
jangan salah sih badannya bentuknya six
pack. Eko, orang Depok cungkring
yang suka nyebut dirinya bule padahal rambut pirangnya hasil cat dan kulitnya
sawo matang malah jatohnya jadi mirip bule depok. Beda lagi sama Narko, cowok
asli Kebumen ini orangnya ramah banget, kalau senyum lebar banget sampai-sampai
bibirnya ketarik sekian senti terus giginya punya pager, badannya gembul.
Perbedaan yang ada menjadi warna bagi kehidupan mereka. Tiga hal yang sama dari
mereka, pertama kuliah jurusan teknik
sipil di Institut Teknologi Gajah Duduk, kedua suka makan batagor dan ketiga sama-sama
tuna asmara. Apa jadinya jika persamaan diantara mereka itu menjadi sesuatu
yang dipertaruhkan demi semangkok atau bahkan bermangkok-mangkok batagor? Haruskah
persahabatan mereka yang dikorbankan?
Langganan:
Postingan (Atom)