Pages

Senin, 31 Oktober 2011

E.T-Katy Perry

You're so hypnotizing
Could you be the devil? Could you be an angel?
Your touch magnetizing
Feels like I am floating, leaves my body glowing

They say be afraid
You're not like the others, futuristic lover
Different DNA
They don't understand you

You're from a whole other world
A different dimension
You open my eyes
And I'm ready to go, lead me into the light

Kiss me, ki-ki-kiss me
Infect me with your love and
Fill me with your poison

Take me, ta-ta-take me
Wanna be a victim
Ready for abduction

Boy, you're an alien
Your touch so foreign
It's supernatural
Extraterrestrial

You're so supersonic
Wanna feel your powers, stun me with your lasers
Your kiss is cosmic
Every move is magic

You're from a whole other world
A different dimension
You open my eyes
And I'm ready to go, lead me into the light

Kiss me, ki-ki-kiss me
Infect me with your love and
Fill me with your poison

Take me, ta-ta-take me
Wanna be a victim
Ready for abduction

Boy, you're an alien
Your touch so foreign
It's supernatural
Extraterrestrial

This is transcendental
On another level
Boy, you're my lucky star

I wanna walk on your wavelength
And be there when you vibrate
For you I'll risk it all

Kiss me, ki-ki-kiss me
Infect me with your love and
Fill me with your poison

Take me, ta-ta-take me
Wanna be a victim
Ready for abduction

Boy, you're an alien
Your touch so foreign
It's supernatural
Extraterrestrial, extraterrestrial, extraterrestrial

Boy, you're an alien
Your touch so foreign
It's supernatural
Extraterrestrial

Kamis, 27 Oktober 2011

haramkah-melly goeslaw

Haram-haramkah aku
Bila hatiku jatuh cinta
Tuhan pegangi hatiku
Biar aku tak jadi melanggar
Aku cinta pada dirinya
Cinta pada pandang pertama
Sifat manusia ada padaku
Aku bukan Tuhan

Haram-haramkah aku
Bila aku terus menantinya
Biar waktu berakhir
Bumi dan langit berantakan

Aku tetap ingin dirinya
Tak mungkin aku berdusta
Hanya Tuhan yang bisa jadikan
Yang tak mungkin menjadi mungkin

Reff:
Aku hanya ingin cinta yang halal
Di mata dunia juga akhirat
Biar aku sepi aku hampa aku basi
Tuhan sayang aku

Aku hanya ingin cinta yang halal
Dengan dia tentu atas ijinNya
Ketika cinta bertasbih
Tuhan beri aku cinta
Ku menanti cinta…

Rabu, 26 Oktober 2011

tak ingin

Aku tidak pernah tahu kalau harus bertemu lagi dengannya dalam keadaan seperti ini. Dadaku terasa sesak, nafasku tercekat dan pikiranku melayang entah kemana. Aku masih ragu apakah benar itu dia? ku lihat dia sekali lagi secara lebih detail.  Jujur aku enggan menatapnya lebih lama, namun hatiku tidak bisa bohong. Hasrat yang ada dalam diriku jauh lebih kuat dari apapun.

Aku pandangi ia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Matanya sipit namun begitu tajam jika memandang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang mungil tipis dan satu lagi yang membuatku tidak bisa melupakannya. Ya lesung pipi yang ia miliki memiliki daya tarik yang belum pernah aku lihat . Apalagi jika ia tersenyum. Sungguh amatlah manis dan tampan. 

Dan juga kini dadanya lebih bidang, tinggi badannya menjulang sehingga aku harus mendongak ke atas jika ingin melihatnya dan rahangnya menjadi lebih keras. Sungguh menecerminkan kedewasaan yang belum aku lihat sebelumnnya darinya. 

Dia tetap sama seperti pertama kali aku lihat 7 tahun yang lalu ketika ia turun dari mobil Honda CRV  berwarna silver bedanya kini ia lebih dewasa. Dan ternyata benar itu Gabriel. Cinta pertamaku.

“Hai Khansa apa kabar?” Gabriel mengulurkan tangannya kepadaku.

“Hai. Ya aku baik-baik saja bagaimana denganmu?” ku jabat tangannya seraya memberikan senyum simpul kepadanya tapi ia tidak tahu jika jantungku berdetak seratus kali lebih cepat. 

Dan aku berusaha untuk tenang. Bersikap biasa.

“Wah, ternyata kalian sudah saling kenal? Ini kebetulan yang sangat menyenangkan” Richard tiba-tiba datang diantara kami dan membuatku sedikit lega.

“Iya begitulah. Gabriel adalah kakak kelasku waktu SMA dulu” aku menjawabnya asal sedangkan mataku tertuju pada panggung yang megah itu. Menghindar.

“Oh pantes udah kaya reunian aja nih haha” Richard tertawa begitu lepas padahal ia tidak tahu yang sesungguhnya. Tepatnya yang terjadi pada partnernya ini. Dasar asisten aneh juga gokil.

“Baguslah aku juga baik-baik saja. Masih suka es krim?” tanyanya lembut membuat perasaanku melayang. Ternyata dia masih ingat.

\Kami berbincang-bincang lama sekali. Dan aku menikmati semua ini. Sungguh aku rindu saat-saat seperti ini. Tetapi jika mengingat masa-masa itu hatiku sakit. Luka itu masih ada.

Tiba-tiba seorang wanita cantik yang memakai gaun vintage berwarna peach itu datang menghampiri kami. Tubuhnya bak model berjalan anggun membuat semua mata tertuju padanya.

“Sayang, aku cari-cari kamu daritadi ternyata kamu disini. Anterin pulang yuk aku udah bosen disini” wanita itu menggenggam tangan Gabriel.

Rasanya hatiku sakit melihat itu. Aku tidak ingin rasanya berada disini. Aku ingin lari. Pergi entah kemana.

“Cie pasangan yang satu ini bikin sirik aja sih. Kapan nikah? undang-undang dong” asisten yang sangat tidak tahu perasaan bosnya.

Gabriel menatapku. Tapi tak ku balas tatapannya. Dia seperti ingin menjelaskan sesuatu tapi aku tidak peduli.

“Ya gitu deh, doain aja ya aku pasti undang semua orang yang ada disini kok. Yu ah say kita pulang.”  wanitu itu menatap Gabriel yang tidak dibalas oleh Gabriel. Gabriel justru menatapku.

“Oh, ya baiklah kita akan segera pulang. Khansa, aku pergi dulu. Richard pertemuan selanjutnya kita atur lagi”

“Beres bos. Kabari aja lagi” Richard memberikan hormat seperti sedang upacara saja. Ada-ada saja orang ini.

Gabriel berlalu begitu saja. Dan aku hanya mematung. Aku merasa sangat benci dengan keadaan seperti ini. Kenapa daridulu harus seperti ini? Kenapa aku dan Gabriel tidak pernah bisa bersatu?. Apakah aku tidak pantas untuk mencintai dan dicintai?

Minggu, 16 Oktober 2011

Hatred (part 2)

Bunyi ponsel itu sangat nyaring sekali. Memaksa mataku untuk terbuka, padahal aku sangat enggan untuk membuka mataku ini. Dan akhirnya aku memustuskan sambungan ponsel itu. Tapi ponsel itu sangat nakal, ia berbunyi semakin nyaring membuatku terbangun dan rasanya ingin sekali melempar ponsel ini ke arah tembok itu. Tapi kuurungkan niatku itu karena di layar tertera nama “Jasmine” dan aku angkat juga panggilan itu.

“Hai Jasmine” kurasakan mulutku sangat pahit ketika berbicara

“Apa? ya baiklah aku akan segera kesana.”

“Jam 11? tidak masalah percayakan semua padaku”

Sambungan ponsel  itu akhirnya terputus.

Aku merasa kepalaku sangat pusing, pandanganku mulai kabur dan badanku lemas. Rasanya enggan untuk terlepas dari tempat tidur. Tapi aku tidak boleh seenaknya, Jasmine sahabatku menyuruhku untuk ke kampus karena ada hal yang harus kami bicarakan tentang  tugas program bisnis.

“Kamu sudah bangun Macherie?” suara itu sangat familiar di telingaku

“Yah, itu karena telepon ini. Aku ingin tahu apa yang terjadi padaku? kepalaku pening”

Sambil membawa susu hangat serta roti bakar kesukaanku, Vranda duduk di samping   dan mengusap kepalaku.

“Sudah berapa kali aku katakan kepadamu Cherie janganlah kamu sering minum vodka itu. You’re get drunk. Untunglah Jordan melihatmu dan segera menelponku. Aku langsung ke Atlanta Phipps

“Dasar bartender bodoh untuk apa dia menelponmu jadinya aku tidak bisa menikmati minuman itu leluasa” pandanganku kosong

“Apa? justru kamu yang bodoh. Untuk apa kamu terus-terusan seperti ini Cherie? Shalom? C’mon you must back to reality. Shalom bukan segalanya sekarang. Dia tidak mendengarkanmu lagi”

Aku hanya diam dan pikiranku entah kemana dan rasanya perutku mual.

Aku segera bangkit dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Rasanya aku ingin mengeluarkan sesuatu dari perutku dan aku benar-benar tidak tahan lagi. Dan aku memuntahkan yang ada dalam perutku.

Rasanya lega sekali tapi badanku jadi tidak enak.

“Itulah akibat dari kebiasaan bodohmu itu” Vranda berdiri di samping kamar mandi dengan melihatku prihatin.

“Iya aku memang bodoh, dan aku akui semua itu Vranda. Tapi aku benar-benar tidak bisa membuat Shalom berfikir buruk terhadapku. Aku belum menjelaskan padanya tentang semua ini” bulir-bulir air mataku tiba-tiba berjatuhan lembut.

“Tanpa kamu katakan aku sudah mengerti. Jangan menangis Cherie aku tidak sanggup melihatmu menangis” Vranda memopang badanku yang hampir jatuh dan ia memelukku erat.

Hal inilah yang selalu membuat aku bertahan.

***

Georgia College University

Entah kenapa aku selalu kagum jika melihat bangunan ini. Arsitekturnya yang sangat unik dan memiliki ukiran yang tidak biasa. Kampus di wilayah Hancock Street, Milledgeville ini selalu memberikan kejutan yang belum aku rasakan. Disini pulalah aku bertemu dengan Shalom.

Parkiran kampus ini sekarang terihat penuh. Aku menjadi sedikit aneh dengan ini semua. Entah kenapa aku merasa asing dengan keadaan ini. Mungkin karena seringnya aku tidak hadir saat pembelajaran berlangsung. Ya karena semenjak kejadian itu aku enggan untuk kuliah.

Tapi pemikiran sempit ini harus segera aku enyahkan. Aku tidak ingin terlihat bodoh di mata orang-orang.

Kulalui koridor-koridor yang menghubungkan gedung perpustakaan dengan ruangan tempat aku belajar dan tiba-tiba langkahku terhenti. Tubuhku mematung, entah kenapa. Rasanya kepingan dalam hatiku berserakan entah kemana.

“Sayang, aku ingin kita pergi ke Mundre Fashion itu Minggu besok. Kamu bisa menemaniku kan?” perempuan itu merengek manja kepada lelaki yang ada di sampingnya.

“Tentu saja, lagipula kegiatanku untuk Minggu besok hanya sedikit dan tidak terlalu penting” jawab laki-laki itu dan tersenyum kepada perempuan itu

“Aku tidak pernah meragukan kamu” perempuan itu menggenggam tangan laki-laki itu dan dibalas dengan hal yang sama.

Sepertinya aku mengenal sosok itu. Sosok yang sudah tak asing lagi. Dialah laki-laki yang membuat hidupku kacau akhir-akhir ini. Sesaat pandangan kami bertemu dan dadaku terasa sesak. Aku semakin sulit untuk bernafas.

Tetapi pandanganku dibalas tak acuh oleh laki-laki itu. Ia berlalu begitu ringan.

Justru ia memamerkan kemesraannya dengan perempuan itu, ya Claudia . Hatiku terasa sakit. Sakit sekali. Ia melingkarakan lengannya ke pundak perempuan itu. Aku tidak terima dengan ini semua. Aku cemburu. Dan aku benci dengan ini.

“Shalom, kenapa kamu begitu tega kepadaku? kenapa kamu lakukan hal ini di depan mata kepalaku? begitu tidak berartikah perjalanan kita dulu?” langkahku semakin cepat menuju ruangan coach bisnis itu. Secepat butiran air yang turun di pipiku.

***

“Baiklah kita tidak punya waktu yang banyak teman-teman. Kita harus melakukan riset secepatnya untuk mensukseskan program kerja kita” Jasmine begitu antusias memberikan arahan untuk kami para tim yang bekerja di bawah naungannya.

Aku sangat kagum pada Jasmine, dia adalah perempuan yang cerdas, pekerja keras dan mempunyai keinginan yang kuat. Aku terkadang suka belajar darinya, terutama dalam hal yang memerlukan pemikiran. Dia selalu dapat menyelesaikan suatu masalah dengan baik.

“Cherie, kamu baik-baik saja?” Jasmine membuyarkan lamunanku yang aku sendiri tidak tahu apa yang aku lamunkan.

Pikiranku kosong.

“Oh, nothing. I mean i’m okay. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan” kualihkan pandanganku pada white board yang terlihat di pojok ruangan ini.

“Aku sudah mendengar apa yang terjadi antara kamu dengan Shalom” perkataan Jasmine terdengar hati-hati sekali.

“Mungkin perlu waktu saja untuk semua ini Macherie. Aku yakin cepat atau lambat Shalom akan menyadari hal ini”

Langit begitu terik siang ini, membuat tenggorokanku terasa kering.

“Sebenarnya ada apa antara Shalom dan Claudia?”

“Entahlah. Aku tidak tahu pasti yang jelas hubungan mereka semakin dekat” sambil membenarkan posisi duduknya Jamine mengeluarkan sebuah kertas dan memberikannya padaku.

“Apa ini?” tanyaku bingung dengan apa yang dilakukan Jasmine tadi

“Itu adalah undangan pertunangan Shalom dan Claudia”  jelas Jasmine.

“Apa? jadi mereka bertunangan?” badanku lemas seketika

“Iya. Aku harap kau bisa bertahan dengan semua ini Cherie.”.

***

Pertunangan Shalom dan Claudia

Tidak pernah terlintas di benakku bahwa hal ini akan terjadi. Membayangkannya saja tidak sama sekali. Shalom dan Claudia bertunangan. Aku tidak diundang dalam acara pertunangan mereka. Aku tidak mengharapkan untuk diundang. Tapi aku ingin melihat acara pertunangan mereka.

Akhirnya aku nekat menuju kediaman Prof. Belinda Hans  di San Fransisco untuk menyaksikan acara itu. Iya, Prof. Belinda Hans  adalah ibu Claudia. Claudia adalah salah satu anak dari dosen di Georgia College University.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa Claudia sangat menyukai Shalom, tapi karena Shalom tidak terlalu memperhatikannya dia menjadi kesal. Terlebih lagi Shalom sering mendekatiku.

Mungkin sekarang keadaanya berbalik. Semuanya tidak akan sama. Kini Shalom bukan siapa-siapa lagi untukku.

Aku berjalan amat pelan, bahkan terlihat seperti mengendap-ngendap. Aku tidak ingin terlihat seperti penyelundup. Aku berusaha bersikap biasa.

Dekorasi ruangan untuk acara pertunangan itu sangatlah elegan. Dipadu dengan warna pastel yang memenuhi dinding menambah kesan artristik. Orang-orang begitu sibuk hilir mudik mempersiapkan ini itu. Berbagai macam minuman lengkap tersedia di meja sana.

Aku melihat Claudia sangat cantik dengan gaun warna peach itu. Dia cocok memakainya. Disana juga terlihat Shalom. Ya disamping Claudia. Dia terlihat gagah dengan jas warna cream coklat itu. Mereka adalah pasangan yang serasi.

Acara pertunanganpun dimulai. Ada Prof. Belinda Hans  yang mendampingi anaknya. Terlihat juga laki-laki di samping  Prof. Belinda Hans. Entah kenapa aku sangat familiar dengan wajah itu. Tapi entah siapa. Aku merasa sudah sangat mengenal laki-laki itu. Tapi dimana aku mengenal laki-laki itu?. Dan aku sangat enggan untuk melihat wajah laki-laki itu. Entah kenapa.

“Eh, kamu!, apa yang kamu lakukan disini hah?” suara itu berasal dari belakang tempatku diam sekarang. Di sudut jendela pintu utama.

“Aku, emm aku.. ya aku hanya..” aku bingung menjawab pertanyaan body guard keluarga Prof Belinda Hans itu.

“Kamu penguntit ya? ayo ikut saya! saya akan memberi pelajaran untuk apa yang kamu lakukan itu!” bentak sang body guard membuatku kaget.

“Tapi tunggu dulu hey, lepaskan” aku berusaha untuk melepaskan cengkraman sang body guard. Terlihat sekilas Shalom memasangkan cincin ke jemari Claudia dan Claudia tersenyum. Sesaat hatiku sakit.

Tetapi cengkraman body guard itu sangat kuat menyeret badanku saat aku sibuk melihat Shalom juga Claudia dan rasanya badanku sakit.

“Hei, bisakah kau sedikit lembut kepada perempuan dan tidak kasar? Apa kamu ini tidak punya istri ha?” kekesalanku bertambah pada body guard yang galak dengan perawakannya yang sadis dan tidak punya hati itu terlebih lagi badannya yang seperti Mike Thaison versi gagal.

“Persetan dengan hal itu. Pergi kamu dari sini” tubuhku terdorong ke bawah dan membentur aspal.

Sakit, sesakit hati yang begitu perih menerima kenyataan tadi.

“Aku ingin ke Atlanta Phipps sekarang iya aku ingin kesana sekarang” entah apa yang membuatku mempunyai kekuatan ini. Padahal tadi aku jatuh terdorong. Rasa sakit ini memberi kekuatan ekstra.

Dan aku berlari dengan kencang. Sekencang gemuruh yang menggelegar di telingaku ini.

***

“Jam berapa ini?” kurasakan matahari mulai menyelimuti wajahku.

“Jam 9” Vranda merapikan benda-benda yang berserakan di bawah tempat tidurku

“Oh” aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk bangun.

“Kamu mabuk lagi Macherie” adikku terlihat kesal kepadaku.

“Maaf Vranda, aku selalu merepotkanmu”

“Aku benar-benar tidak tahan Cherie. Aku akan melakukan apa yang harusnya dari dulu aku lakukan”

“Apa maksudmu”

“Sudahlah, ini urusanku Macherie”

“Vranda, tunggu. Beri penjelasan dulu” langkahku terasa amat berat

***

 “Hai, aku ingin bertemu denganmu sekarang. Oke?’

“Ya, ini sangat penting. Tentang Macherie.”
“Apa?”

“Ya, tentu sebelum kamu menyesal”

Aku melihat Vranda sibuk berbicara dengan seseorang di telepon dan sepertinya ia sedang membicarakan aku.

“Kamu tadi menelepon siapa?” tanyaku pada Vranda

“Bukan siapa-siapa”  Vranda terlihat begitu terburu-buru merapikan buku-bukunya.

“Ada yang kamu sembunyikan?” tanyaku tapi lebih tepatnya mengintrogasi.

“Menyembunyikan apa Macherie? Sudahlah aku tidak punya banyak waktu. Untuk makan siang nanti aku sudah menyiapkannya dan aku simpan di lemari. Kau tinggal memakannya saja”

“Hei aku belum selesai bicara”

“Jaga dirimu baik-baik Cherie. Aku pergi dulu”

Kali ini aku harus akui. Aku kalah berdebat dengan adikku. Vranda.

***

Baru kali ini aku menerima tawaran Madam Helena untuk bernyanyi pada hari biasa. Karena kebiasaanku lebih sering bernyanyi di akhir pekan. Aku pikir bukan hal yang buruk lagipula dengan bernyanyi diriku menjadi lebih hidup.

Bernyanyi adalah hal yang paling aku senangi. Dulu aku ingin sekali bercitacita menjadi penyanyi profesional. Setiap perlombaan aku ikuti tanpa lelah. Dan ibuku selalu menemani dan mendukung segalla kegiatanku. Oh ibu.

“Hei, kau ini penyanyi di kafe ini kan? Ayo tunggu apalagi? Saya kesini itu untuk menghibur diri bukan intuk melihat kesedihan” ingin rasanya aku melempar sepatuku yang berhak 6 cm ini ke kepala orang itu tapi aku urungkan hal itu.

“Macherie, apa yang kamu lakukan ha?” Madam Helena gemas terhadapku. Dan aku cuek saja.

“Maafkan kami tuan, janganlah emosi. Kita bisa selesaikan ini baik-baik kan? silahkan duduk kembali” wajah Madam terlihat begitu dibuat-buat.

Membuatku ingin muntah.

Tiba-tiba aku teringat pada Shalom. Aku tidak mengerti kenapa semua laki-laki itu berengsek?. Dan harus aku akui aku tidak bisa melupakan Shalom.

 Kepergian Shalom dalam hidupku adalah hal yang paling tidak bisa aku terima. Hidupku menjadi berantakan. Aku tidak bisa mengenali diriku sendiri. Aku ingin menyanyikan lagu ini untuknya. Intro When You’re Gone Avril Lavigne terdengar dan  tuts piano pun mengeluarkan nada-nada menyayat hati. Dan bibirkupun melakukan hal yang sama.

I always needed time on my own
I never thought I'd need you there when I cry
And the days feel like years when I'm alone
And the bed where you lie is made up on your side
When you walk away I count the steps that you take
Do you see how much I need you right now

Perlahan air mataku menetes dan aku merasa benar-benar tidak sanggup.

When you're gone
The pieces of my heart are missing you
When you're gone
The face I came to know is missing too
When you're gone
The words I need to hear to always get me through the day and make it ok
I miss you

Aku lari ke balik panggung sebelum menyelesaikan pertunjukkan malam ini. Aku tahu ini sangat kekanak-kanakan tapi kesabaranku telah habis. Aku menangis sejadi-jadinya di pinggir pintu. Tepatnya di depan ruangan Madam Helena.

***

“Apa yang terjadi padamu Macherie? Malam ini kamu benar-benar mengecewakan saya”
“Maafkan saya Madam Helena. Saya tidak enak badan” kuusap air mata di pipiku.

“Alasan saja!. Baiklah untuk kali ini saya maafkan kamu. Walaupun tadi kamu sempat membuat saya marah tapi seketika juga saya senang”

“Maksud Madam?” aku semakin tidak mengerti apa arti dari perkataan Madam Helena.

“Tuan silahkan masuk” panggil Madam Helena kepada seseorang dengan nama “tuan”. 

Membuat perasaanku tidak enak. Pasti akan ada hal yang terjadi malam ini. Dan aku membeci perasaan seperti ini.

Kemudia “tuan” –ya sebutan Madam Helena untuk orang itu-  masuk ke dalam ruangan ini.

Seketika aku kaget. Aku pernah melihat laki-laki ini. Aku berusaha mengingatnya. Berfikir dan berfikir. Rasanya kepalaku mulai pusing dan badanku lemas. Tiba-tiba aku tersadar laki-laki ini adalah laki-laki yang berada di samping Prof Belinda Hans ketika pertunangan Shalom dan Claudia. Apa yang dia lakukan disini?

Dia mendekati Madam Helena. Dan ketika aku melihat matanya aku merasakan hal yang aneh. Aku benar-benar enggan melihat wajah laki-laki ini. Terbesit kebencian yang luar biasa yang aku rasakan ketika melihatnya. Aku tidak tahu kenapa. Apa yang terjadi dengan diriku?

“Selamat datang Sir Philips Hans Crums” sapa Madam dengan ramahnya.

Apa? Sir Philips Hans Crums? Gumamku dalam hati. Nama ini sudah tidak asing lagi di telingaku. Aku ingin mencari sebuah memori tetapi memori tu amat sulit untuk ditemukan. Aku berfikir amat keras kali ini.

“Ya, aku sangat senang bisa disini” laki-laki itu mencium tangan Madam Helena dengan tatapan khas laki-laki hidung belang. Dan aku semakin muak melihatnya.

“Baiklah tuan, tidak perlu berlama-lama lagi. Perempuan inilah yang ingin aku perkenalkan padamu” seru Madam antusias.

“Hai, nona? Kamu malam ini cantik sekali”  laki-laki itu mengulurkan tangannya padaku dan  ya entah kenapa tangan itu juga begitu familiar bagiku.

Aku perhatikan wajah itu sekali lagi dan kali ini aku baru menyadari satu hal. Ya sekarang aku bisa menemukan memori yang hilang itu. Memori beberapa tahun silam yang masih jelas di kepalaku.

Tangan itu adalah tangan yang jahat. Tangan itu telah melukai ibuku. Aku masih ingat ketika malam itu tangan itu memukul wajah ibuku dan tangan itu dengan sengaja membuang sisa pakaian yang ada di lemari. Tangan itu milik ayahku. Ya Sir Philips Hans Crums adalah ayahku.

Ia begitu tega pada ibu, aku dan Vranda. Ia dengan sengaja mengusir kami dari rumahnya. Dan disana ada seorang perempuan yang berada di sampingnya. Mereka tertawa terbahak-bahak. Ibuku menangis seketika itu juga. Dan aku tidak terima ibuku diperlakukan seperti itu. 

Aku langsung menghampiri ayahku itu dan mendorongnya tapi apa daya tubuhku lebih kecil dan aku terdorong oleh tangan ayahku itu.

Terlebih lagi saat itu Vranda masih berumur 9 bulan. Dia tidak mengerti apa-apa selain menangis layaknya bayi lainnya yang mempunyai kontak batin yang kuat dengan ibunya. Ketika ibunya sedih tentulah bayi akan sedih. Naluri itu tidak bisa dibohongi. Dan apakah ayahku itu terenyuh melihat Vranda kecil? Ternyata tidak. Dan inilah yang membuat aku membencinya. Apa masih pantas ia dipanggil dengan sebutan ayah?.

“Macherie, kenapa kamu malah diam saja? Benar-benar tidak sopan” sela Madam Helena membuyarkan lamunanku.

“Oh, maaf, iya terimakasih” jawabku enggan

“Baguslah, silahkan Tuan nikamtilah suasana malam ini”

“Tapi Madam, saya...” belum sempat aku berkata-kata Madam mendorong tubuhku mendekati Sir Philips. Ayahku sendiri.

***

Tangan itu mulai menggenggam tangan ini. Ini benar-benar gila. Mana mungkin ayahku sendiri ingin bercinta dengan aku. Anaknya sendiri. Ini tidak bisa dibiarkan.

“Maaf, bisakah tangan tuan tidak mencengkram tangan saya seperti itu, sedikit sakit sepertinya” alasan ini aku persiapkan untuk menghindari ini semua.

“Maaf, mungkin aku kali ini saya terburu-buru” dan perlakuan Sir Philips kepadaku makin tidak terkontrol. Ia semakin berani melakukan hal-hal yang dsangat tidak pantas. Dia ayahku.

“Tolong lepaskan saya, tolong jangan lakukan hal itu tuan aku mohon” aku semakin tidak bisa berkutik. Ruang gerakku terbatasi oleh tangan ayahku yang begitu kuat mencengkram.

“Ah, sudahlah, kamu diam saja. Saya sudah membayar kamu ke Madam Helena dan saya tidak ingin rugi”  dia semakin liar seperti singa yang kelaparan dan hendak memakan mangsanya.

“Lepaskan! Tolong! Siapapun yang ada di sini tolong saya” teriakku sekencang-kencangnya sampai menangis. Aku benar-benar takut.

“Lepaskan dia” aku mencari darimana suara itu berasal dan ternyata itu Shalom. Dia datang di saat yang tepat.

“Shalom!. Tolong aku Shalom” teriakku pada Shalom.

Dan Shalom mendekat ke arah kami. Dan seketika itu juga Shalom hendak memukul wajah ayahku. Dia menyentuh pundak ayahku dan membalikan badannya agar mereka saling berhadapan. Ketika tinjuan itu hendak Shalom layangkan. Tiba-tiba Shalom terkejut.

“Om Philips? Apa yang om lakukan?”

“Shalom, om emmm “ sepertinya ayahku bingung menjawab pertanyaan Shalom

“Bagaimana dengan tante dan Claudia?”

Tante dan Claudia? Berarti Prof Belinda Hans adalah perempuan di masa lalu itu dan Claudia adalah saudara tiriku? Bisikku dalam hati

“Tolong jangan beritahu ini pada mereka. Om mohon”

Badanku terasa makin berat. Kepalaku terlalu lelah untuk berfikir. Aku sudah tidak bisa menopang diriku sendiri. Tubuhku terkulai di lantai yang dingin ini.

***

“Aku ada dimana?” ku buka mataku perlahan dan seakan berbicara sendiri.

“Kamu di rumah sakit” suara itu lagi. Suara yang sangat menenangkanku.

“Shalom, kenapa kamu ada disini?”

“Macherie. Kamu tidak apa-apa? Vranda datang tiba-tiba dan langsung menghampiriku.

“Ya, aku tidak apa-apa. Hanya pusing saja” jawabku sambil menyentuh pelipis kepalaku.

“Terimakasih Shalom, kau telah menolong Cherie”

“Sudah seharusnya aku melakukannya.” Senyuman itu sangatlah manis.

***

Halaman rumah sakit ini begitu sejuk. Diselingi kicauan burung  yang merdu. Membuat hatiku tenang dan ingin rasanya ikut bernyanyi. Terbang bersama burung-burung itu.

“Tidak bisa aku bayangkan apa yang akan terjadi jika pada saat itu kamu tidak datang Shalom”

“Aku ini punya indera keenam. Jadi apapun yang akan terjadi tentu saja aku akan mengetahuinya lebi dulu”  candaanya seperti inilah yang selalu aku rindukan.

“Apakah ada lelucon yang lebih masuk akal dari ini?”

Dan kami tertawa bersama.

“Aku ingin bertanya kepadamu. Apa yang terkadi antara kamu dan Sir Philips?”

“Dia adalah ayahku” jawabku datar

“Apa? apakah kamu serius?” Shalom tampak kaget dan tidak percaya.

“Iya begitulah adanya” aku menjelaskan semua yang terjadi dulu padanya dari awal sampai akhir

“Oh jadi begitu”

Dan seketika hening.

 “Selamat untuk kamu dan Claudia” rasanya aku begitu berat mengatakan ini tapi entahlah semua terucap begitu saja.

“Bisakah kamu tidak mebicarakan ini” Shalom tampak enggan untuk membahas hal ini.

“Kenapa? bukankah kamu bahagia dengan ini semua?”

“Bahagia katamu? Aku melakukan ini semua karena aku terpaksa”

“Terpaksa? Tapi kenapa?”

“Karena posisiku di dalam organisasi True Deep akan terancam jika aku tidak menuruti apa kata Claudia”

“Jadi seperti itulah kenyataannya?” aku berusaha sediki tenang.

“Macherie...” sapaannya itu begitu lembut. Aku menyukai cara Shalom menyebut namaku

“Iya.. Ada apa?” tanyaku penasaran

“Aku mencintaimu”

“Tapi, kamu dengan Claudia?”

“Tidak ada salahnya kan jika kita tetap bersama”

Pelukan itu tiba-tiba aku rasakan begitu hangat. Dan aku tidak pernah ingin melepas pelukan ini. Dan alunan Stick With You mengalun indah dalam hati yang lengkap. Nyata.

the end


Jumat, 14 Oktober 2011

2 sisi yang berbeda

"Stickwitu"

I don't wanna go another day,
So I'm telling you exactly what is on my mind.
Seems like everybody's breaking up
Throwing their love away,
But I know I got a good thing right here
That's why I say (Hey)

[Chorus:]
Nobody gonna love me better
I must stick with you forever.
Nobody gonna take me higher
I must stick with you.
You know how to appreciate me
I must stick with you, my baby.
Nobody ever made me feel this way
I must stick with you.

I don't wanna go another day
So I'm telling you exactly what is on my mind.
See the way we ride in our private lives,
Ain't nobody getting in between.
I want you to know that you're the only one for me (one for me)
And I say

[Chorus]

And now
Ain't nothing else I can need (nothing else I can need)
And now
I'm singing 'cause you're so, so into me.
I got you,
We'll be making love endlessly.
I'm with you (baby, I'm with you)
Baby, you're with me (Baby, you're with me)

So don't you worry about
People hanging around,
They ain't bringing us down.
I know you and you know me
And that's all that counts.
So don't you worry about
People hanging around,
They ain't bringing us down.
I know you and you know me
And that's why I say

[Chorus x2]

Selasa, 11 Oktober 2011

zoiz

  
coming soon !! “PRE-ZOIZ” October,22nd 2011 ft. ROSEMARY ,SPEAKER 1st ,For Revenge , Molekul ,Last Redemption and many more
HTM : Rp.15.000 .
More info follow us on twitter @F2WL12

Hatred

Kurasakan tanganku mulai menggigil merasuk hingga urat nadiku. Aku mengepalkan tangan erat-erat menempelkannya di depan mulut sambil meniupnya sesekali. Udara sore ini memang tidak seperti biasanya, begitu dingin mengerjap dan membuat gigi bergetar menciptakan bunyi-bunyi khas diselingi desahan nafas. 

Orang-orang hilir mudik di Georgia street ini begitupun dengan pedagang kaki lima, mereka terlihat sibuk menawarkan dagangan mereka tapi sayang banyak yang tidak mengindahkan mereka. Aku menelusuri jalanan ini sesekali melihat manikin bergaya bak model di etalase toko.

Ku lirik arloji di tangan kiriku yang menunjukkan pukul empat sore. 

“Gawat, aku tidak boleh ketinggalan bis itu, bisa-bisa aku tidak bisa pulang" aku berusaha mempercepat langkah agar sampai di halte Athena yang berada di ujung jalan ini dan angin berhembus kencang sampai membuat rambutku beterbangan kesana kemari. 

Terlebih lagi udara begitu menusuk kulit, ku hentikan langkah kaki menuju satu toko. Dan aku buka resleting tas ku cepat-sepat dan mengambil sweater yang hangat itu, lalu aku memakainya. Tiba-tiba mulutku terasa pahit dan aku membeli permen yang menetralisir rasa pahit dilidahku.

Ku pandangi Georgia street secara menyeluruh dan mataku tertuju pada satu titik, entah kenapa pemandangan ini begitu menarik perhatianku dan mataku tidak ingin berpindah kemana-mana. Sosok mungil yang membawa keranjang kue pie yang menawarkannya kepada orang-orang, sepertinya sosok mungil itu amat kelelahan. 

Terlihat dari wajahnya yang kusam, keningnya yang meneteskan peluh yang banyak, serta bajunya yang compang camping di sana-sini. Aku tidak tega melihat pemandangan seperti ini dan tanpa di duga sosok mungil itu menghampiriku.

“Hai nona cantik, sepertinya kau amat kelelahan?” ucap sosok mungil itu dengan khas cerianya. 

“Ya begitulah aku harus cepat-cepat pulang, ada yang menungguku, kasian dia sendirian” balasku sambil menyinggungkan senyum. Si mungil membuka keranjang dan mengeluarkan isi di dalamnya. 

“Maukah kau membeli pie ini? ibuku yang membuatnya. Tenang ini masih hangat dan ada banyak rasa, kau tinggal memilihnya.” balas dia antusias. Kurasakan mataku mulai panas dan aku berusaha mengatur nafas.

“Emm, sepertinya enak, aku beli semuanya ya? kau tidak keberatan kan?”

“Nona serius? tentu saja tidak, aku sangat senang ini artinya aku dan ibuku bisa makan hari ini” jawab dia tulus. 

Aku semakin susah berkata “Iya, jadi tunggu apa lagi ayo cepat bungkus kuenya”.

Sosok mungil itu begitu sigap membungkus kue-kue itu. Kulihat tangannya begitu kasar dan sepertinya dia sering melakukan pekerjaan yang berat. 

“Ini kuenya nona” si mungil memberikan kuenya padaku. 

“Oke terimakasih ya” ku rogoh saku di bajuku dan mengambil beberapa lembar uang dan menghitungnya dahulu sebelum memberikannya ke mungil. 

“Hei, Macherie Wolblood!” suara teriakan itu terdengar di telingaku, ku palingkan pandangan ke belakang dan kulihat sosok yang sudah tidak asing itu, matanya begitu sayu teduh dan menenangkan. 

Tubuhnya yang tegap membuat dia terlihat gagah. “Ya ampun, kamu tahu aku sudah mencarimu kemana-mana?” suaranya terdengar serak karena lelah berlari. 

“Lagipula untuk apa kamu mencariku?” kuberikan beberapa lembar uang itu pada si mungil. 

“Terimakasih nona, semoga hidupmu penuh kebahagiaan”

“Iya terimakasih, salam untuk ibumu ya” dan si mungil berlalu begitu saja.

***

Halte Athena ini dibuat dengan desain yang menyerupai sebuah bus sekolah. Di setiap bagian atap halte diberi lampu dan tulisan school bus agar terlihat oleh 3 unit bus sekolah tua yang biasa berhenti di situ. 

Ku buka buku Secret dan memulai membacanya di antara sempitnya tempat duduk yang di penuhi orang-orang untuk menunggu bus jurusan Walk street yang belum kunjung tiba. 

“Aku yakin kamu tidak bisa tidur tanpa ini” suara itu membuat konsentrasiku untuk membaca hilang. 

“Loh? kenapa bisa buku itu ada di kamu? Ah untunglah, bisa-bisa aku tidak bisa melakukan apa-apa nanti” selaku sekenanya. 

“Maka dari itu jangan menyimpan di sembarang tempat. Tadi aku menemukannya di perpusatakaan” jawabnya sinis sambil mengeluarkan ipod kesayangannya keluaran Apple dan memasangkan earphone ke telinganya. 

“Well, thanx for your help, may God always beside you” balasku tapi tidak melihat ke arahnya karena mataku fokus pada Secret yang sedari tadi terlantar.

Bus jurusan Walk street telah datang, aku setengah berlari mengejarnya karena aku ingin cepat pulang. “Apa yang kamu lakukan? kamu tidak membawa mobil?”

“Bawa, tapi aku ingin memastikanmu sampai rumah dengan selamat. Ini hampir malam aku khawatir hal buruk menimpamu” dia selalu seperti ini membuatku tidak bisa berkata apa-apa. 

“Tapi bagaimana dengan mobilmu?”.
 
“Aku sudah menitipkannya pada Louis” dia terlihat cuek sembari membenarkan posisi earphone yang ia pakai dan dia di belakang ku mengikuti seperti malaikat penjaga.

Maaf bus ini sempit jadi kita harus berdiri”

“Bisakah kamu bersikap biasa? ini bukan masalah bagiku”. Ya seperti itulah Shalom. Gayanya cuek, merasa dirinya paling benar, dan perhatian. 

Perjalanan kali ini tidak biasa dan sangat menyenangkan karena Shalom selalu bercerita ini itu sampai-sampai aku tidak tahu lagi bagaimana menanggapi perkataanya, dia sangat cerewet. 

“Cherie, aku minta maaf. Aku tahu aku sangat kekanak-kanakan. Aku tidak akan memusingkan hal itu lagi”. 

“Lalu tentang Claudia?.” aku bertanya ragu.

“Yah, harusnya aku tidak perlu memperdulikannya. Yang terpenting kamu..jadi? lagipula kamu pasti ingin es krim kan?”. 

“Siapa bilang? aku tidak ingin es krim, aku ingin makan sepuas-puasnya!.”

“Apapun”. Tanpa di diduga bus berhenti tiba-tiba sehingga membuat badanku terjatuh ke depan untunglah Shalom menahanku dari belakang dan berkata. 

“Kamu tidak punya pilihan lain”. 

“Coba saja” tantangku. 

“Dan aku selalu menyukai ini”

Dan kami tertawa bersama dan sayup terdengar lagu yang didengarkan Shalom di playlist ipod Apple kesayangannya lagu Backstreet Boys As Long as You Love Me mengalun indah menemani perjalanan kami.

***

Kediaman Selena Crums 16.20

"Jadi? sekarang kau mau ke sana? ke Atlanta Phipps?” Vranda melihatku yang berbalut gaun minim berwarna merah marun yang membuatku cantik dan anggun. 

“Iya tentu saja, kamu juga tahu kan Madam Helena tidak akan mengampuniku jika aku membantah perintahnya” ku poles bibirku dengan lipstik merah merekah.

“Tapi Macherie, apa tidak ada jalan lain?”

“Maksudmu?”

“Aku tahu Madam Helena sangat keras, tapi kenapa harus seperti ini Cherie?. Kita bisa berjualan manisan jeruk dan apel daripada melihatmu seperti ini”. 

“Apa? kamu pikir untuk membayar sekolahmu pakai apa? lalu membayar rumah ini, kebutuhan kita?”. 

“Cherie, aku menyayangimu. Ibu pasti akan bangga padamu” sambil memeluk. Hening. 

“Dengar Vranda, selama kamu bisa sekolah dan kamu bisa makan. Apapun aku akan lakukan demi kamu”. 

Tak kuasa aku pada Vranda, dia adikku satu-satunya yang amat aku sayangi. Dia adalah sesuatu yang paling berharga dari apapun. Harta terakhir dalam hidupku selain ibuku.

Pusaran Selena Crums 17.15

Sore ini begitu cerah, langitpun tersenyum dalam semburatnya dan bunga-bunga bouganville bertebaran dimana-mana. Kulihat pusaran itu begitu teduh oleh pohon bougenville. Ku pandangi pusaran itu dan kakiku melangkah perlahan ke pusaran itu. Di sana terdapat batu nisan yang bertuliskan “Selena Crums 5 October 1968. RIP 18 September 2003”. 

Pusaran itu adalah pusaran ibuku. Ibuku yang sangat aku cintai. Aku sangat sedih mengingatnya, beliau sangat mencintai aku dan Vranda. Sampai-sampai beliau rela melakukan apa saja demi kami. Begitu cintanya beliau hingga tidak memperdulikan kesehatannya bahkan apapun yang terjadi pada dirinya.

Waktu itu Vranda sakit, ia masih berumur 5 tahun. Dan ibu tidak punya uang. Dia berusaha berjualan kue pie kesana kemari tapi nihil tidak ada yang mau membelinya. Hujan turun deras saat itu. Dan tanpa beliau sadari pada saat melewati Georgia street ada mobil yang melaju sangat kencang. 

Malam itu sangat gelap, ibuku memegang tanganku erat dan pada saat kami menyeberang mobil itu menghantam tubuh ibuku. Tubuhku terlindungi oleh tubuh ibuku. Dan aku melihat cucuran darah itu di tubuh ibuku. Aku menangis sekencang-kencangnya, tubuhku lemas terkulai. Dan nyawa ibuku tidak tertolong. 

 Jika aku mengingat kejadian itu lagi aku ingin berteriak dan aku ingin mengadu “Tuhan, kenapa Kau ambil nyawa ibuku? kenapa? kenapa Kau biarkan kami seperti ini? apa Kau tidak menyayangi kami?”. 

“Iya, jika orang yang berengsek itu tidak meninggalkan kami, kami tidak akan seperti ini Tuhan”. “Dan aku bersumpah. Aku tidak ingin melihatnya sampai kapanpun. Aku sangat membencinya”.

Atlanta Phipps 20.50

Atlanta Phipps malam ini begitu ramai. Bahkan lebih ramai dari hari-hari biasanya. Maklum, mungkin malam ini adalah akhir pekan. Kafe di wilayah Peachtree Road  ini memang kafe yang terkenal. Banyak eksekutif muda yang melepaskan penat disini.

“Saya tidak  mau tahu pokoknya kamu malam ini harus tampil cantik dan menarik dan satu lagi suara kamu harus bagus” seru madam Helena sesekali membenarkan poninya yang berada dekat dengan matanya. 

“Tapi Madam, boleh saya mengusulkan satu hal?” suaraku terdengar terbata-bata. 

“Well, saya tidak  punya banyak waktu jadi cepat katakan!” bentak Madam ciri khasnya. 

“Boleh saya naik gaji?” kataku seraya menyibakan rambut ke belakang. 

“Kamu ini! Sudah! Cepat ke panggung! Saya tidak akan memaafkan kamu kalau kamu mengecewakan pengunjung saya! Oya satu lagi, malam ini kamu harus menemani teman Madam” terangnya Madam Helena yang senyumannya sangat manis namun seperti racun bagiku. 

“Tapi Madam? saya tidak mau, saya tidak mau melakukan itu” aku berusaha menghindar. 

“Berani kamu pada saya?  kamu mau saya usir dari kontrakan saya?”. Dan aku tidak bisa berkutik.

***

Panggung begitu gemerlap. Band pegiring pun siap menemaniku melantukan lagu-lagu indah malam ini. Dan aku memilih lagu Stick With You yang dipopulerkan oleh The Pussycat Dolls. Dan musik intropun mengalun dan aku mulai bersenandung.

I don't wanna go another day,
So I'm telling you exactly what is on my mind.
Seems like everybody's breaking up
Throwing their love away,
But I know I got a good thing right here
That's why I say (Hey)

Ku lantunkan lagu itu penuh penghayatan. Pikiranku melayang ke Shalom, aku ingin menyanyikan lagu ini untuknya. Aku mencintainya. Sangat. Dia yang bisa membuatku bertahan hingga saat ini. Membuatku yakin bahwa hidup lebih indah untuk dijalani, membuatku yakin bahwa banyak kejutan dalam hidup yang sayang untuk dilewatkan.

Nobody gonna love me better
I must stick with you forever.
Nobody gonna take me higher      
I must stick with you.
You know how to appreciate me
I must stick with you, my baby.
Nobody ever made me feel this way
I must stick with you.

“Andai kamu ada disini Shalom” pekikku dalam diam. Dan aku harus kembali ke backstage dan melakukan apa yang di perintahkan Madam Helena

***

Dalam perjalan pulang aku lebih banyak diam. Sir Victor pun menjadi sebal kepadaku. Dan aku tidak peduli. Sesampainya di halaman rumah aku ingin segera turun dari mobil terkutuk ini. Tanpa aku duga Sir Victor memelukku, dan entah kenapa pandanganku justru terpaku pada sosok itu. Seketika nafasku tercekat, aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Shalom melihat semua ini di depan pintu rumahku.

“Dan aku pikir selama ini yang mereka katakan itu tidak benar. Ternyata aku salah.” Shalom berkata kepadaku tanpa melihatku.

Seketika aku lari menghampirinya dan aku mencegahnya pergi “Shalom aku mohon, dengarkan penjalasanku. Ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Aku mohon”

“Maaf, tapi aku tidak bisa. Semuanya sudah jelas” Shalom terus berjalan ke arah mobilnya dan pergi meninggalkan ketidakberdayaan diri ini.

Dan lagu Please Don’t Go Mike Posner mengalun dalam dentuman hati yang rapuh. Hilang. Kosong.
to be continued..