Pages

Selasa, 11 Oktober 2011

Hatred

Kurasakan tanganku mulai menggigil merasuk hingga urat nadiku. Aku mengepalkan tangan erat-erat menempelkannya di depan mulut sambil meniupnya sesekali. Udara sore ini memang tidak seperti biasanya, begitu dingin mengerjap dan membuat gigi bergetar menciptakan bunyi-bunyi khas diselingi desahan nafas. 

Orang-orang hilir mudik di Georgia street ini begitupun dengan pedagang kaki lima, mereka terlihat sibuk menawarkan dagangan mereka tapi sayang banyak yang tidak mengindahkan mereka. Aku menelusuri jalanan ini sesekali melihat manikin bergaya bak model di etalase toko.

Ku lirik arloji di tangan kiriku yang menunjukkan pukul empat sore. 

“Gawat, aku tidak boleh ketinggalan bis itu, bisa-bisa aku tidak bisa pulang" aku berusaha mempercepat langkah agar sampai di halte Athena yang berada di ujung jalan ini dan angin berhembus kencang sampai membuat rambutku beterbangan kesana kemari. 

Terlebih lagi udara begitu menusuk kulit, ku hentikan langkah kaki menuju satu toko. Dan aku buka resleting tas ku cepat-sepat dan mengambil sweater yang hangat itu, lalu aku memakainya. Tiba-tiba mulutku terasa pahit dan aku membeli permen yang menetralisir rasa pahit dilidahku.

Ku pandangi Georgia street secara menyeluruh dan mataku tertuju pada satu titik, entah kenapa pemandangan ini begitu menarik perhatianku dan mataku tidak ingin berpindah kemana-mana. Sosok mungil yang membawa keranjang kue pie yang menawarkannya kepada orang-orang, sepertinya sosok mungil itu amat kelelahan. 

Terlihat dari wajahnya yang kusam, keningnya yang meneteskan peluh yang banyak, serta bajunya yang compang camping di sana-sini. Aku tidak tega melihat pemandangan seperti ini dan tanpa di duga sosok mungil itu menghampiriku.

“Hai nona cantik, sepertinya kau amat kelelahan?” ucap sosok mungil itu dengan khas cerianya. 

“Ya begitulah aku harus cepat-cepat pulang, ada yang menungguku, kasian dia sendirian” balasku sambil menyinggungkan senyum. Si mungil membuka keranjang dan mengeluarkan isi di dalamnya. 

“Maukah kau membeli pie ini? ibuku yang membuatnya. Tenang ini masih hangat dan ada banyak rasa, kau tinggal memilihnya.” balas dia antusias. Kurasakan mataku mulai panas dan aku berusaha mengatur nafas.

“Emm, sepertinya enak, aku beli semuanya ya? kau tidak keberatan kan?”

“Nona serius? tentu saja tidak, aku sangat senang ini artinya aku dan ibuku bisa makan hari ini” jawab dia tulus. 

Aku semakin susah berkata “Iya, jadi tunggu apa lagi ayo cepat bungkus kuenya”.

Sosok mungil itu begitu sigap membungkus kue-kue itu. Kulihat tangannya begitu kasar dan sepertinya dia sering melakukan pekerjaan yang berat. 

“Ini kuenya nona” si mungil memberikan kuenya padaku. 

“Oke terimakasih ya” ku rogoh saku di bajuku dan mengambil beberapa lembar uang dan menghitungnya dahulu sebelum memberikannya ke mungil. 

“Hei, Macherie Wolblood!” suara teriakan itu terdengar di telingaku, ku palingkan pandangan ke belakang dan kulihat sosok yang sudah tidak asing itu, matanya begitu sayu teduh dan menenangkan. 

Tubuhnya yang tegap membuat dia terlihat gagah. “Ya ampun, kamu tahu aku sudah mencarimu kemana-mana?” suaranya terdengar serak karena lelah berlari. 

“Lagipula untuk apa kamu mencariku?” kuberikan beberapa lembar uang itu pada si mungil. 

“Terimakasih nona, semoga hidupmu penuh kebahagiaan”

“Iya terimakasih, salam untuk ibumu ya” dan si mungil berlalu begitu saja.

***

Halte Athena ini dibuat dengan desain yang menyerupai sebuah bus sekolah. Di setiap bagian atap halte diberi lampu dan tulisan school bus agar terlihat oleh 3 unit bus sekolah tua yang biasa berhenti di situ. 

Ku buka buku Secret dan memulai membacanya di antara sempitnya tempat duduk yang di penuhi orang-orang untuk menunggu bus jurusan Walk street yang belum kunjung tiba. 

“Aku yakin kamu tidak bisa tidur tanpa ini” suara itu membuat konsentrasiku untuk membaca hilang. 

“Loh? kenapa bisa buku itu ada di kamu? Ah untunglah, bisa-bisa aku tidak bisa melakukan apa-apa nanti” selaku sekenanya. 

“Maka dari itu jangan menyimpan di sembarang tempat. Tadi aku menemukannya di perpusatakaan” jawabnya sinis sambil mengeluarkan ipod kesayangannya keluaran Apple dan memasangkan earphone ke telinganya. 

“Well, thanx for your help, may God always beside you” balasku tapi tidak melihat ke arahnya karena mataku fokus pada Secret yang sedari tadi terlantar.

Bus jurusan Walk street telah datang, aku setengah berlari mengejarnya karena aku ingin cepat pulang. “Apa yang kamu lakukan? kamu tidak membawa mobil?”

“Bawa, tapi aku ingin memastikanmu sampai rumah dengan selamat. Ini hampir malam aku khawatir hal buruk menimpamu” dia selalu seperti ini membuatku tidak bisa berkata apa-apa. 

“Tapi bagaimana dengan mobilmu?”.
 
“Aku sudah menitipkannya pada Louis” dia terlihat cuek sembari membenarkan posisi earphone yang ia pakai dan dia di belakang ku mengikuti seperti malaikat penjaga.

Maaf bus ini sempit jadi kita harus berdiri”

“Bisakah kamu bersikap biasa? ini bukan masalah bagiku”. Ya seperti itulah Shalom. Gayanya cuek, merasa dirinya paling benar, dan perhatian. 

Perjalanan kali ini tidak biasa dan sangat menyenangkan karena Shalom selalu bercerita ini itu sampai-sampai aku tidak tahu lagi bagaimana menanggapi perkataanya, dia sangat cerewet. 

“Cherie, aku minta maaf. Aku tahu aku sangat kekanak-kanakan. Aku tidak akan memusingkan hal itu lagi”. 

“Lalu tentang Claudia?.” aku bertanya ragu.

“Yah, harusnya aku tidak perlu memperdulikannya. Yang terpenting kamu..jadi? lagipula kamu pasti ingin es krim kan?”. 

“Siapa bilang? aku tidak ingin es krim, aku ingin makan sepuas-puasnya!.”

“Apapun”. Tanpa di diduga bus berhenti tiba-tiba sehingga membuat badanku terjatuh ke depan untunglah Shalom menahanku dari belakang dan berkata. 

“Kamu tidak punya pilihan lain”. 

“Coba saja” tantangku. 

“Dan aku selalu menyukai ini”

Dan kami tertawa bersama dan sayup terdengar lagu yang didengarkan Shalom di playlist ipod Apple kesayangannya lagu Backstreet Boys As Long as You Love Me mengalun indah menemani perjalanan kami.

***

Kediaman Selena Crums 16.20

"Jadi? sekarang kau mau ke sana? ke Atlanta Phipps?” Vranda melihatku yang berbalut gaun minim berwarna merah marun yang membuatku cantik dan anggun. 

“Iya tentu saja, kamu juga tahu kan Madam Helena tidak akan mengampuniku jika aku membantah perintahnya” ku poles bibirku dengan lipstik merah merekah.

“Tapi Macherie, apa tidak ada jalan lain?”

“Maksudmu?”

“Aku tahu Madam Helena sangat keras, tapi kenapa harus seperti ini Cherie?. Kita bisa berjualan manisan jeruk dan apel daripada melihatmu seperti ini”. 

“Apa? kamu pikir untuk membayar sekolahmu pakai apa? lalu membayar rumah ini, kebutuhan kita?”. 

“Cherie, aku menyayangimu. Ibu pasti akan bangga padamu” sambil memeluk. Hening. 

“Dengar Vranda, selama kamu bisa sekolah dan kamu bisa makan. Apapun aku akan lakukan demi kamu”. 

Tak kuasa aku pada Vranda, dia adikku satu-satunya yang amat aku sayangi. Dia adalah sesuatu yang paling berharga dari apapun. Harta terakhir dalam hidupku selain ibuku.

Pusaran Selena Crums 17.15

Sore ini begitu cerah, langitpun tersenyum dalam semburatnya dan bunga-bunga bouganville bertebaran dimana-mana. Kulihat pusaran itu begitu teduh oleh pohon bougenville. Ku pandangi pusaran itu dan kakiku melangkah perlahan ke pusaran itu. Di sana terdapat batu nisan yang bertuliskan “Selena Crums 5 October 1968. RIP 18 September 2003”. 

Pusaran itu adalah pusaran ibuku. Ibuku yang sangat aku cintai. Aku sangat sedih mengingatnya, beliau sangat mencintai aku dan Vranda. Sampai-sampai beliau rela melakukan apa saja demi kami. Begitu cintanya beliau hingga tidak memperdulikan kesehatannya bahkan apapun yang terjadi pada dirinya.

Waktu itu Vranda sakit, ia masih berumur 5 tahun. Dan ibu tidak punya uang. Dia berusaha berjualan kue pie kesana kemari tapi nihil tidak ada yang mau membelinya. Hujan turun deras saat itu. Dan tanpa beliau sadari pada saat melewati Georgia street ada mobil yang melaju sangat kencang. 

Malam itu sangat gelap, ibuku memegang tanganku erat dan pada saat kami menyeberang mobil itu menghantam tubuh ibuku. Tubuhku terlindungi oleh tubuh ibuku. Dan aku melihat cucuran darah itu di tubuh ibuku. Aku menangis sekencang-kencangnya, tubuhku lemas terkulai. Dan nyawa ibuku tidak tertolong. 

 Jika aku mengingat kejadian itu lagi aku ingin berteriak dan aku ingin mengadu “Tuhan, kenapa Kau ambil nyawa ibuku? kenapa? kenapa Kau biarkan kami seperti ini? apa Kau tidak menyayangi kami?”. 

“Iya, jika orang yang berengsek itu tidak meninggalkan kami, kami tidak akan seperti ini Tuhan”. “Dan aku bersumpah. Aku tidak ingin melihatnya sampai kapanpun. Aku sangat membencinya”.

Atlanta Phipps 20.50

Atlanta Phipps malam ini begitu ramai. Bahkan lebih ramai dari hari-hari biasanya. Maklum, mungkin malam ini adalah akhir pekan. Kafe di wilayah Peachtree Road  ini memang kafe yang terkenal. Banyak eksekutif muda yang melepaskan penat disini.

“Saya tidak  mau tahu pokoknya kamu malam ini harus tampil cantik dan menarik dan satu lagi suara kamu harus bagus” seru madam Helena sesekali membenarkan poninya yang berada dekat dengan matanya. 

“Tapi Madam, boleh saya mengusulkan satu hal?” suaraku terdengar terbata-bata. 

“Well, saya tidak  punya banyak waktu jadi cepat katakan!” bentak Madam ciri khasnya. 

“Boleh saya naik gaji?” kataku seraya menyibakan rambut ke belakang. 

“Kamu ini! Sudah! Cepat ke panggung! Saya tidak akan memaafkan kamu kalau kamu mengecewakan pengunjung saya! Oya satu lagi, malam ini kamu harus menemani teman Madam” terangnya Madam Helena yang senyumannya sangat manis namun seperti racun bagiku. 

“Tapi Madam? saya tidak mau, saya tidak mau melakukan itu” aku berusaha menghindar. 

“Berani kamu pada saya?  kamu mau saya usir dari kontrakan saya?”. Dan aku tidak bisa berkutik.

***

Panggung begitu gemerlap. Band pegiring pun siap menemaniku melantukan lagu-lagu indah malam ini. Dan aku memilih lagu Stick With You yang dipopulerkan oleh The Pussycat Dolls. Dan musik intropun mengalun dan aku mulai bersenandung.

I don't wanna go another day,
So I'm telling you exactly what is on my mind.
Seems like everybody's breaking up
Throwing their love away,
But I know I got a good thing right here
That's why I say (Hey)

Ku lantunkan lagu itu penuh penghayatan. Pikiranku melayang ke Shalom, aku ingin menyanyikan lagu ini untuknya. Aku mencintainya. Sangat. Dia yang bisa membuatku bertahan hingga saat ini. Membuatku yakin bahwa hidup lebih indah untuk dijalani, membuatku yakin bahwa banyak kejutan dalam hidup yang sayang untuk dilewatkan.

Nobody gonna love me better
I must stick with you forever.
Nobody gonna take me higher      
I must stick with you.
You know how to appreciate me
I must stick with you, my baby.
Nobody ever made me feel this way
I must stick with you.

“Andai kamu ada disini Shalom” pekikku dalam diam. Dan aku harus kembali ke backstage dan melakukan apa yang di perintahkan Madam Helena

***

Dalam perjalan pulang aku lebih banyak diam. Sir Victor pun menjadi sebal kepadaku. Dan aku tidak peduli. Sesampainya di halaman rumah aku ingin segera turun dari mobil terkutuk ini. Tanpa aku duga Sir Victor memelukku, dan entah kenapa pandanganku justru terpaku pada sosok itu. Seketika nafasku tercekat, aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Shalom melihat semua ini di depan pintu rumahku.

“Dan aku pikir selama ini yang mereka katakan itu tidak benar. Ternyata aku salah.” Shalom berkata kepadaku tanpa melihatku.

Seketika aku lari menghampirinya dan aku mencegahnya pergi “Shalom aku mohon, dengarkan penjalasanku. Ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Aku mohon”

“Maaf, tapi aku tidak bisa. Semuanya sudah jelas” Shalom terus berjalan ke arah mobilnya dan pergi meninggalkan ketidakberdayaan diri ini.

Dan lagu Please Don’t Go Mike Posner mengalun dalam dentuman hati yang rapuh. Hilang. Kosong.
to be continued..

6 komentar:

  1. bagus sih ceritanya tapi kurang nya mungkin yang saya baca ada kurang dari penjelasan orang orang nya...ngertikah??ceritanya mah udah bagus...

    BalasHapus
  2. terimakasih ouh jadi latar belakang kaya" gitu" ya?

    BalasHapus
  3. iah betul masih kurangnya di situ...
    dri cerita nya udah lumayan lah bagus..
    inspirasi dari mana?

    BalasHapus
  4. hehe iya jadi sengaja dibuat ambigu cuma sedikit nyeritainya namanya juga cerpen hehe, gatau tiba" muncul di pikiran :D

    BalasHapus
  5. dapet inspirasi dari mana yan?
    bagus tao,struktural kebahasaannya bagus pisan,hehehe
    kya udah yg ahlinya..

    BalasHapus
  6. hehe bisa aja riz, makasih :), ya suka ngehayal aja aku teh tapi inspirasinya mah dari seseorang yang ga nyerah ama keadaan terus gimana cara orang ngadepin kerasnya hidup dan nyari jalan keluarnya walaupun jalan yang dia tempuh itu salah hehe :D

    BalasHapus