Bunyi ponsel itu sangat nyaring sekali. Memaksa mataku untuk terbuka, padahal aku sangat enggan untuk membuka mataku ini. Dan akhirnya aku memustuskan sambungan ponsel itu. Tapi ponsel itu sangat nakal, ia berbunyi semakin nyaring membuatku terbangun dan rasanya ingin sekali melempar ponsel ini ke arah tembok itu. Tapi kuurungkan niatku itu karena di layar tertera nama “Jasmine” dan aku angkat juga panggilan itu.
“Hai Jasmine” kurasakan mulutku sangat pahit ketika berbicara
“Apa? ya baiklah aku akan segera kesana.”
“Jam 11? tidak masalah percayakan semua padaku”
Sambungan ponsel itu akhirnya terputus.
Aku merasa kepalaku sangat pusing, pandanganku mulai kabur dan badanku lemas. Rasanya enggan untuk terlepas dari tempat tidur. Tapi aku tidak boleh seenaknya, Jasmine sahabatku menyuruhku untuk ke kampus karena ada hal yang harus kami bicarakan tentang tugas program bisnis.
“Kamu sudah bangun Macherie?” suara itu sangat familiar di telingaku
“Yah, itu karena telepon ini. Aku ingin tahu apa yang terjadi padaku? kepalaku pening”
Sambil membawa susu hangat serta roti bakar kesukaanku, Vranda duduk di samping dan mengusap kepalaku.
“Sudah berapa kali aku katakan kepadamu Cherie janganlah kamu sering minum vodka itu. You’re get drunk. Untunglah Jordan melihatmu dan segera menelponku. Aku langsung ke Atlanta Phipps ”
“Dasar bartender bodoh untuk apa dia menelponmu jadinya aku tidak bisa menikmati minuman itu leluasa” pandanganku kosong
“Apa? justru kamu yang bodoh. Untuk apa kamu terus-terusan seperti ini Cherie? Shalom? C’mon you must back to reality. Shalom bukan segalanya sekarang. Dia tidak mendengarkanmu lagi”
Aku hanya diam dan pikiranku entah kemana dan rasanya perutku mual.
Aku segera bangkit dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Rasanya aku ingin mengeluarkan sesuatu dari perutku dan aku benar-benar tidak tahan lagi. Dan aku memuntahkan yang ada dalam perutku.
Rasanya lega sekali tapi badanku jadi tidak enak.
“Itulah akibat dari kebiasaan bodohmu itu” Vranda berdiri di samping kamar mandi dengan melihatku prihatin.
“Iya aku memang bodoh, dan aku akui semua itu Vranda. Tapi aku benar-benar tidak bisa membuat Shalom berfikir buruk terhadapku. Aku belum menjelaskan padanya tentang semua ini” bulir-bulir air mataku tiba-tiba berjatuhan lembut.
“Tanpa kamu katakan aku sudah mengerti. Jangan menangis Cherie aku tidak sanggup melihatmu menangis” Vranda memopang badanku yang hampir jatuh dan ia memelukku erat.
Hal inilah yang selalu membuat aku bertahan.
***
Georgia College University
Entah kenapa aku selalu kagum jika melihat bangunan ini. Arsitekturnya yang sangat unik dan memiliki ukiran yang tidak biasa. Kampus di wilayah Hancock Street, Milledgeville ini selalu memberikan kejutan yang belum aku rasakan. Disini pulalah aku bertemu dengan Shalom.
Parkiran kampus ini sekarang terihat penuh. Aku menjadi sedikit aneh dengan ini semua. Entah kenapa aku merasa asing dengan keadaan ini. Mungkin karena seringnya aku tidak hadir saat pembelajaran berlangsung. Ya karena semenjak kejadian itu aku enggan untuk kuliah.
Tapi pemikiran sempit ini harus segera aku enyahkan. Aku tidak ingin terlihat bodoh di mata orang-orang.
Kulalui koridor-koridor yang menghubungkan gedung perpustakaan dengan ruangan tempat aku belajar dan tiba-tiba langkahku terhenti. Tubuhku mematung, entah kenapa. Rasanya kepingan dalam hatiku berserakan entah kemana.
“Sayang, aku ingin kita pergi ke Mundre Fashion itu Minggu besok. Kamu bisa menemaniku kan?” perempuan itu merengek manja kepada lelaki yang ada di sampingnya.
“Tentu saja, lagipula kegiatanku untuk Minggu besok hanya sedikit dan tidak terlalu penting” jawab laki-laki itu dan tersenyum kepada perempuan itu
“Aku tidak pernah meragukan kamu” perempuan itu menggenggam tangan laki-laki itu dan dibalas dengan hal yang sama.
Sepertinya aku mengenal sosok itu. Sosok yang sudah tak asing lagi. Dialah laki-laki yang membuat hidupku kacau akhir-akhir ini. Sesaat pandangan kami bertemu dan dadaku terasa sesak. Aku semakin sulit untuk bernafas.
Tetapi pandanganku dibalas tak acuh oleh laki-laki itu. Ia berlalu begitu ringan.
Justru ia memamerkan kemesraannya dengan perempuan itu, ya Claudia . Hatiku terasa sakit. Sakit sekali. Ia melingkarakan lengannya ke pundak perempuan itu. Aku tidak terima dengan ini semua. Aku cemburu. Dan aku benci dengan ini.
“Shalom, kenapa kamu begitu tega kepadaku? kenapa kamu lakukan hal ini di depan mata kepalaku? begitu tidak berartikah perjalanan kita dulu?” langkahku semakin cepat menuju ruangan coach bisnis itu. Secepat butiran air yang turun di pipiku.
***
“Baiklah kita tidak punya waktu yang banyak teman-teman. Kita harus melakukan riset secepatnya untuk mensukseskan program kerja kita” Jasmine begitu antusias memberikan arahan untuk kami para tim yang bekerja di bawah naungannya.
Aku sangat kagum pada Jasmine, dia adalah perempuan yang cerdas, pekerja keras dan mempunyai keinginan yang kuat. Aku terkadang suka belajar darinya, terutama dalam hal yang memerlukan pemikiran. Dia selalu dapat menyelesaikan suatu masalah dengan baik.
“Cherie, kamu baik-baik saja?” Jasmine membuyarkan lamunanku yang aku sendiri tidak tahu apa yang aku lamunkan.
Pikiranku kosong.
“Oh, nothing. I mean i’m okay. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan” kualihkan pandanganku pada white board yang terlihat di pojok ruangan ini.
“Aku sudah mendengar apa yang terjadi antara kamu dengan Shalom” perkataan Jasmine terdengar hati-hati sekali.
“Mungkin perlu waktu saja untuk semua ini Macherie. Aku yakin cepat atau lambat Shalom akan menyadari hal ini”
Langit begitu terik siang ini, membuat tenggorokanku terasa kering.
“Sebenarnya ada apa antara Shalom dan Claudia?”
“Entahlah. Aku tidak tahu pasti yang jelas hubungan mereka semakin dekat” sambil membenarkan posisi duduknya Jamine mengeluarkan sebuah kertas dan memberikannya padaku.
“Apa ini?” tanyaku bingung dengan apa yang dilakukan Jasmine tadi
“Itu adalah undangan pertunangan Shalom dan Claudia” jelas Jasmine.
“Apa? jadi mereka bertunangan?” badanku lemas seketika
“Iya. Aku harap kau bisa bertahan dengan semua ini Cherie.”.
***
Pertunangan Shalom dan Claudia
Tidak pernah terlintas di benakku bahwa hal ini akan terjadi. Membayangkannya saja tidak sama sekali. Shalom dan Claudia bertunangan. Aku tidak diundang dalam acara pertunangan mereka. Aku tidak mengharapkan untuk diundang. Tapi aku ingin melihat acara pertunangan mereka.
Akhirnya aku nekat menuju kediaman Prof. Belinda Hans di San Fransisco untuk menyaksikan acara itu. Iya, Prof. Belinda Hans adalah ibu Claudia. Claudia adalah salah satu anak dari dosen di Georgia College University.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Claudia sangat menyukai Shalom, tapi karena Shalom tidak terlalu memperhatikannya dia menjadi kesal. Terlebih lagi Shalom sering mendekatiku.
Mungkin sekarang keadaanya berbalik. Semuanya tidak akan sama. Kini Shalom bukan siapa-siapa lagi untukku.
Aku berjalan amat pelan, bahkan terlihat seperti mengendap-ngendap. Aku tidak ingin terlihat seperti penyelundup. Aku berusaha bersikap biasa.
Dekorasi ruangan untuk acara pertunangan itu sangatlah elegan. Dipadu dengan warna pastel yang memenuhi dinding menambah kesan artristik. Orang-orang begitu sibuk hilir mudik mempersiapkan ini itu. Berbagai macam minuman lengkap tersedia di meja sana.
Aku melihat Claudia sangat cantik dengan gaun warna peach itu. Dia cocok memakainya. Disana juga terlihat Shalom. Ya disamping Claudia. Dia terlihat gagah dengan jas warna cream coklat itu. Mereka adalah pasangan yang serasi.
Acara pertunanganpun dimulai. Ada Prof. Belinda Hans yang mendampingi anaknya. Terlihat juga laki-laki di samping Prof. Belinda Hans. Entah kenapa aku sangat familiar dengan wajah itu. Tapi entah siapa. Aku merasa sudah sangat mengenal laki-laki itu. Tapi dimana aku mengenal laki-laki itu?. Dan aku sangat enggan untuk melihat wajah laki-laki itu. Entah kenapa.
“Eh, kamu!, apa yang kamu lakukan disini hah?” suara itu berasal dari belakang tempatku diam sekarang. Di sudut jendela pintu utama.
“Aku, emm aku.. ya aku hanya..” aku bingung menjawab pertanyaan body guard keluarga Prof Belinda Hans itu.
“Kamu penguntit ya? ayo ikut saya! saya akan memberi pelajaran untuk apa yang kamu lakukan itu!” bentak sang body guard membuatku kaget.
“Tapi tunggu dulu hey, lepaskan” aku berusaha untuk melepaskan cengkraman sang body guard. Terlihat sekilas Shalom memasangkan cincin ke jemari Claudia dan Claudia tersenyum. Sesaat hatiku sakit.
Tetapi cengkraman body guard itu sangat kuat menyeret badanku saat aku sibuk melihat Shalom juga Claudia dan rasanya badanku sakit.
“Hei, bisakah kau sedikit lembut kepada perempuan dan tidak kasar? Apa kamu ini tidak punya istri ha?” kekesalanku bertambah pada body guard yang galak dengan perawakannya yang sadis dan tidak punya hati itu terlebih lagi badannya yang seperti Mike Thaison versi gagal.
“Persetan dengan hal itu. Pergi kamu dari sini” tubuhku terdorong ke bawah dan membentur aspal.
Sakit, sesakit hati yang begitu perih menerima kenyataan tadi.
“Aku ingin ke Atlanta Phipps sekarang iya aku ingin kesana sekarang” entah apa yang membuatku mempunyai kekuatan ini. Padahal tadi aku jatuh terdorong. Rasa sakit ini memberi kekuatan ekstra.
Dan aku berlari dengan kencang. Sekencang gemuruh yang menggelegar di telingaku ini.
***
“Jam berapa ini?” kurasakan matahari mulai menyelimuti wajahku.
“Jam 9” Vranda merapikan benda-benda yang berserakan di bawah tempat tidurku
“Oh” aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk bangun.
“Kamu mabuk lagi Macherie” adikku terlihat kesal kepadaku.
“Maaf Vranda, aku selalu merepotkanmu”
“Aku benar-benar tidak tahan Cherie. Aku akan melakukan apa yang harusnya dari dulu aku lakukan”
“Apa maksudmu”
“Sudahlah, ini urusanku Macherie”
“Vranda, tunggu. Beri penjelasan dulu” langkahku terasa amat berat
***
“Hai, aku ingin bertemu denganmu sekarang. Oke?’
“Ya, ini sangat penting. Tentang Macherie.”
“Apa?”
“Ya, tentu sebelum kamu menyesal”
Aku melihat Vranda sibuk berbicara dengan seseorang di telepon dan sepertinya ia sedang membicarakan aku.
“Kamu tadi menelepon siapa?” tanyaku pada Vranda
“Bukan siapa-siapa” Vranda terlihat begitu terburu-buru merapikan buku-bukunya.
“Ada yang kamu sembunyikan?” tanyaku tapi lebih tepatnya mengintrogasi.
“Menyembunyikan apa Macherie? Sudahlah aku tidak punya banyak waktu. Untuk makan siang nanti aku sudah menyiapkannya dan aku simpan di lemari. Kau tinggal memakannya saja”
“Hei aku belum selesai bicara”
“Jaga dirimu baik-baik Cherie. Aku pergi dulu”
Kali ini aku harus akui. Aku kalah berdebat dengan adikku. Vranda.
***
Baru kali ini aku menerima tawaran Madam Helena untuk bernyanyi pada hari biasa. Karena kebiasaanku lebih sering bernyanyi di akhir pekan. Aku pikir bukan hal yang buruk lagipula dengan bernyanyi diriku menjadi lebih hidup.
Bernyanyi adalah hal yang paling aku senangi. Dulu aku ingin sekali bercitacita menjadi penyanyi profesional. Setiap perlombaan aku ikuti tanpa lelah. Dan ibuku selalu menemani dan mendukung segalla kegiatanku. Oh ibu.
“Hei, kau ini penyanyi di kafe ini kan? Ayo tunggu apalagi? Saya kesini itu untuk menghibur diri bukan intuk melihat kesedihan” ingin rasanya aku melempar sepatuku yang berhak 6 cm ini ke kepala orang itu tapi aku urungkan hal itu.
“Macherie, apa yang kamu lakukan ha?” Madam Helena gemas terhadapku. Dan aku cuek saja.
“Maafkan kami tuan, janganlah emosi. Kita bisa selesaikan ini baik-baik kan? silahkan duduk kembali” wajah Madam terlihat begitu dibuat-buat.
Membuatku ingin muntah.
Tiba-tiba aku teringat pada Shalom. Aku tidak mengerti kenapa semua laki-laki itu berengsek?. Dan harus aku akui aku tidak bisa melupakan Shalom.
Kepergian Shalom dalam hidupku adalah hal yang paling tidak bisa aku terima. Hidupku menjadi berantakan. Aku tidak bisa mengenali diriku sendiri. Aku ingin menyanyikan lagu ini untuknya. Intro When You’re Gone Avril Lavigne terdengar dan tuts piano pun mengeluarkan nada-nada menyayat hati. Dan bibirkupun melakukan hal yang sama.
I always needed time on my own
I never thought I'd need you there when I cry
And the days feel like years when I'm alone
And the bed where you lie is made up on your side
When you walk away I count the steps that you take
Do you see how much I need you right now
Perlahan air mataku menetes dan aku merasa benar-benar tidak sanggup.
When you're gone
The pieces of my heart are missing you
When you're gone
The face I came to know is missing too
When you're gone
The words I need to hear to always get me through the day and make it ok
I miss you
Aku lari ke balik panggung sebelum menyelesaikan pertunjukkan malam ini. Aku tahu ini sangat kekanak-kanakan tapi kesabaranku telah habis. Aku menangis sejadi-jadinya di pinggir pintu. Tepatnya di depan ruangan Madam Helena.
***
“Apa yang terjadi padamu Macherie? Malam ini kamu benar-benar mengecewakan saya”
“Maafkan saya Madam Helena. Saya tidak enak badan” kuusap air mata di pipiku.
“Alasan saja!. Baiklah untuk kali ini saya maafkan kamu. Walaupun tadi kamu sempat membuat saya marah tapi seketika juga saya senang”
“Maksud Madam?” aku semakin tidak mengerti apa arti dari perkataan Madam Helena.
“Tuan silahkan masuk” panggil Madam Helena kepada seseorang dengan nama “tuan”.
Membuat perasaanku tidak enak. Pasti akan ada hal yang terjadi malam ini. Dan aku membeci perasaan seperti ini.
Kemudia “tuan” –ya sebutan Madam Helena untuk orang itu- masuk ke dalam ruangan ini.
Seketika aku kaget. Aku pernah melihat laki-laki ini. Aku berusaha mengingatnya. Berfikir dan berfikir. Rasanya kepalaku mulai pusing dan badanku lemas. Tiba-tiba aku tersadar laki-laki ini adalah laki-laki yang berada di samping Prof Belinda Hans ketika pertunangan Shalom dan Claudia. Apa yang dia lakukan disini?
Dia mendekati Madam Helena. Dan ketika aku melihat matanya aku merasakan hal yang aneh. Aku benar-benar enggan melihat wajah laki-laki ini. Terbesit kebencian yang luar biasa yang aku rasakan ketika melihatnya. Aku tidak tahu kenapa. Apa yang terjadi dengan diriku?
“Selamat datang Sir Philips Hans Crums” sapa Madam dengan ramahnya.
Apa? Sir Philips Hans Crums? Gumamku dalam hati. Nama ini sudah tidak asing lagi di telingaku. Aku ingin mencari sebuah memori tetapi memori tu amat sulit untuk ditemukan. Aku berfikir amat keras kali ini.
“Ya, aku sangat senang bisa disini” laki-laki itu mencium tangan Madam Helena dengan tatapan khas laki-laki hidung belang. Dan aku semakin muak melihatnya.
“Baiklah tuan, tidak perlu berlama-lama lagi. Perempuan inilah yang ingin aku perkenalkan padamu” seru Madam antusias.
“Hai, nona? Kamu malam ini cantik sekali” laki-laki itu mengulurkan tangannya padaku dan ya entah kenapa tangan itu juga begitu familiar bagiku.
Aku perhatikan wajah itu sekali lagi dan kali ini aku baru menyadari satu hal. Ya sekarang aku bisa menemukan memori yang hilang itu. Memori beberapa tahun silam yang masih jelas di kepalaku.
Tangan itu adalah tangan yang jahat. Tangan itu telah melukai ibuku. Aku masih ingat ketika malam itu tangan itu memukul wajah ibuku dan tangan itu dengan sengaja membuang sisa pakaian yang ada di lemari. Tangan itu milik ayahku. Ya Sir Philips Hans Crums adalah ayahku.
Ia begitu tega pada ibu, aku dan Vranda. Ia dengan sengaja mengusir kami dari rumahnya. Dan disana ada seorang perempuan yang berada di sampingnya. Mereka tertawa terbahak-bahak. Ibuku menangis seketika itu juga. Dan aku tidak terima ibuku diperlakukan seperti itu.
Aku langsung menghampiri ayahku itu dan mendorongnya tapi apa daya tubuhku lebih kecil dan aku terdorong oleh tangan ayahku itu.
Terlebih lagi saat itu Vranda masih berumur 9 bulan. Dia tidak mengerti apa-apa selain menangis layaknya bayi lainnya yang mempunyai kontak batin yang kuat dengan ibunya. Ketika ibunya sedih tentulah bayi akan sedih. Naluri itu tidak bisa dibohongi. Dan apakah ayahku itu terenyuh melihat Vranda kecil? Ternyata tidak. Dan inilah yang membuat aku membencinya. Apa masih pantas ia dipanggil dengan sebutan ayah?.
“Macherie, kenapa kamu malah diam saja? Benar-benar tidak sopan” sela Madam Helena membuyarkan lamunanku.
“Oh, maaf, iya terimakasih” jawabku enggan
“Baguslah, silahkan Tuan nikamtilah suasana malam ini”
“Tapi Madam, saya...” belum sempat aku berkata-kata Madam mendorong tubuhku mendekati Sir Philips. Ayahku sendiri.
***
Tangan itu mulai menggenggam tangan ini. Ini benar-benar gila. Mana mungkin ayahku sendiri ingin bercinta dengan aku. Anaknya sendiri. Ini tidak bisa dibiarkan.
“Maaf, bisakah tangan tuan tidak mencengkram tangan saya seperti itu, sedikit sakit sepertinya” alasan ini aku persiapkan untuk menghindari ini semua.
“Maaf, mungkin aku kali ini saya terburu-buru” dan perlakuan Sir Philips kepadaku makin tidak terkontrol. Ia semakin berani melakukan hal-hal yang dsangat tidak pantas. Dia ayahku.
“Tolong lepaskan saya, tolong jangan lakukan hal itu tuan aku mohon” aku semakin tidak bisa berkutik. Ruang gerakku terbatasi oleh tangan ayahku yang begitu kuat mencengkram.
“Ah, sudahlah, kamu diam saja. Saya sudah membayar kamu ke Madam Helena dan saya tidak ingin rugi” dia semakin liar seperti singa yang kelaparan dan hendak memakan mangsanya.
“Lepaskan! Tolong! Siapapun yang ada di sini tolong saya” teriakku sekencang-kencangnya sampai menangis. Aku benar-benar takut.
“Lepaskan dia” aku mencari darimana suara itu berasal dan ternyata itu Shalom. Dia datang di saat yang tepat.
“Shalom!. Tolong aku Shalom” teriakku pada Shalom.
Dan Shalom mendekat ke arah kami. Dan seketika itu juga Shalom hendak memukul wajah ayahku. Dia menyentuh pundak ayahku dan membalikan badannya agar mereka saling berhadapan. Ketika tinjuan itu hendak Shalom layangkan. Tiba-tiba Shalom terkejut.
“Om Philips? Apa yang om lakukan?”
“Shalom, om emmm “ sepertinya ayahku bingung menjawab pertanyaan Shalom
“Bagaimana dengan tante dan Claudia?”
Tante dan Claudia? Berarti Prof Belinda Hans adalah perempuan di masa lalu itu dan Claudia adalah saudara tiriku? Bisikku dalam hati
“Tolong jangan beritahu ini pada mereka. Om mohon”
Badanku terasa makin berat. Kepalaku terlalu lelah untuk berfikir. Aku sudah tidak bisa menopang diriku sendiri. Tubuhku terkulai di lantai yang dingin ini.
***
“Aku ada dimana?” ku buka mataku perlahan dan seakan berbicara sendiri.
“Kamu di rumah sakit” suara itu lagi. Suara yang sangat menenangkanku.
“Shalom, kenapa kamu ada disini?”
“Macherie. Kamu tidak apa-apa? Vranda datang tiba-tiba dan langsung menghampiriku.
“Ya, aku tidak apa-apa. Hanya pusing saja” jawabku sambil menyentuh pelipis kepalaku.
“Terimakasih Shalom, kau telah menolong Cherie”
“Sudah seharusnya aku melakukannya.” Senyuman itu sangatlah manis.
***
Halaman rumah sakit ini begitu sejuk. Diselingi kicauan burung yang merdu. Membuat hatiku tenang dan ingin rasanya ikut bernyanyi. Terbang bersama burung-burung itu.
“Tidak bisa aku bayangkan apa yang akan terjadi jika pada saat itu kamu tidak datang Shalom”
“Aku ini punya indera keenam. Jadi apapun yang akan terjadi tentu saja aku akan mengetahuinya lebi dulu” candaanya seperti inilah yang selalu aku rindukan.
“Apakah ada lelucon yang lebih masuk akal dari ini?”
Dan kami tertawa bersama.
“Aku ingin bertanya kepadamu. Apa yang terkadi antara kamu dan Sir Philips?”
“Dia adalah ayahku” jawabku datar
“Apa? apakah kamu serius?” Shalom tampak kaget dan tidak percaya.
“Iya begitulah adanya” aku menjelaskan semua yang terjadi dulu padanya dari awal sampai akhir
“Oh jadi begitu”
Dan seketika hening.
“Selamat untuk kamu dan Claudia” rasanya aku begitu berat mengatakan ini tapi entahlah semua terucap begitu saja.
“Bisakah kamu tidak mebicarakan ini” Shalom tampak enggan untuk membahas hal ini.
“Kenapa? bukankah kamu bahagia dengan ini semua?”
“Bahagia katamu? Aku melakukan ini semua karena aku terpaksa”
“Terpaksa? Tapi kenapa?”
“Karena posisiku di dalam organisasi True Deep akan terancam jika aku tidak menuruti apa kata Claudia”
“Jadi seperti itulah kenyataannya?” aku berusaha sediki tenang.
“Macherie...” sapaannya itu begitu lembut. Aku menyukai cara Shalom menyebut namaku
“Iya.. Ada apa?” tanyaku penasaran
“Aku mencintaimu”
“Tapi, kamu dengan Claudia?”
“Tidak ada salahnya kan jika kita tetap bersama”
Pelukan itu tiba-tiba aku rasakan begitu hangat. Dan aku tidak pernah ingin melepas pelukan ini. Dan alunan Stick With You mengalun indah dalam hati yang lengkap. Nyata.
the end